Connect with us

Hi, what are you looking for?

Hikmah

Ibnu Taimiyah: Hikmah Perbedaan dan Ukhuwah Islamiyah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengajarkan perbedaan pandangan adalah rahmat, bukan perpecahan. Beliau menekankan persatuan umat, menghindari imtihan, dan pentingnya ukhuwah Islamiyah di atas afiliasi sempit.

RuangSujud.com – Dalam samudra ilmu agama yang luas, perbedaan pandangan dan ijtihad adalah sebuah keniscayaan yang telah membersamai perjalanan umat Islam sepanjang sejarah. Namun, alih-alih menjadi sumber perpecahan, perbedaan ini sesungguhnya adalah rahmat dan ladang hikmah, asalkan disikapi dengan bijak dan lapang dada. Sosok Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dengan kedalaman ilmunya, telah mewariskan nasihat-nasihat emas yang patut kita renungkan, membimbing kita untuk selalu menjaga persatuan dan ukhuwah Islamiyah di tengah beragamnya pemahaman. Beliau mengajarkan bahwa kemuliaan sejati umat ini terletak pada kebersamaan, bukan pada klaim kebenaran sepihak.

Ibnu Taimiyah, dalam fatwa-fatwanya yang masyhur, menegaskan bahwa perbedaan dalam masalah-masalah ijtihad seharusnya tidak menjadi alasan untuk saling menyalahkan apalagi menjauhi. Beliau menjelaskan, barang siapa mengamalkan pendapat ulama yang diyakininya dalam suatu masalah ijtihad, ia tidak boleh diingkari atau dijauhi. Demikian pula jika seseorang memilih salah satu dari dua pendapat yang ada. Bahkan, jika ia mengetahui ada pendapat yang lebih kuat (rajih), hendaklah ia mengamalkannya. Namun, jika ragu, bertaklid kepada ulama yang kompeten untuk menjelaskan pendapat yang lebih rajih adalah sebuah jalan yang dibolehkan. Ini menunjukkan betapa luwesnya syariat kita, yang mengedepankan kemudahan dan persatuan, bukan kekakuan yang memecah belah.

Lebih jauh, Syaikhul Islam mengingatkan kita akan bahaya perpecahan yang seringkali dipicu oleh “imtihan” atau pengujian dengan penisbatan yang tidak berlandaskan nash Al-Qur’an dan Sunnah. Beliau mencontohkan, ketika seseorang ditanya, “Apakah kamu Shukaily atau Qarfandi?”, jawaban yang benar adalah, “Saya bukan Shukaily atau Qarfandi, melainkan seorang Muslim yang mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.” Kisah Ibnu Abbas yang menjawab serupa kepada Muawiyah menegaskan bahwa loyalitas sejati kita hanyalah kepada millah Rasulullah ﷺ, bukan kepada individu atau kelompok tertentu. Penisbatan kepada madzhab, guru, suku, atau bahkan negeri, tidak boleh menjadi dasar untuk berloyalitas yang sempit dan menyakiti sesama Muslim. Sebab, kemuliaan di sisi Allah semata-mata diukur dari ketakwaan, bukan dari afiliasi.

Kedalaman hikmah ini bukan sekadar teori, melainkan terwujud dalam praktik para ulama salaf. Imam Ahmad bin Hanbal, yang dikenal dengan ketegasannya, pernah memilih membaca basmalah secara jahr (terang) dalam shalat di Madinah, padahal beliau berpendapat sebaliknya, semata-mata demi menjaga ukhuwah dengan penduduk Madinah. Inilah teladan nyata toleransi dan persatuan. Senada dengan itu, Ibnu Taimiyah juga mengingatkan bahwa loyalitas seorang mukmin adalah kepada Allah, Rasul-Nya, dan seluruh hamba-Nya yang beriman secara umum. Baik mereka yang menisbahkan diri pada madzhab tertentu maupun tidak, semua adalah saudara. Sebagaimana firman Allah dalam Surah At-Taubah ayat 71, “Dan orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain,” serta sabda Nabi ﷺ yang mengumpamakan orang mukmin bagaikan satu tubuh.

Syaikhul Islam sendiri adalah teladan agung dalam mempraktikkan ajaran ini. Meski beliau condong kepada madzhab Hambali, murid-muridnya berasal dari berbagai madzhab, seperti Ibnu Katsir dan Imam Ad-Dzahabi yang bermadzhab Syafi’i. Bahkan, beliau menunjukkan sikap tawadhu’ yang luar biasa terhadap ulama lain yang berbeda pandangan. Meskipun seringkali berdebat dan mengkritik karya Taqiyuddin As-Subki, seorang ulama Syafi’i terkemuka, Ibnu Taimiyah tetap memuji karya-karya As-Subki dan memberikan penghormatan yang tinggi kepadanya. Puncak ketawadhuannya terlihat ketika ia menolak untuk berdebat dengan ‘Alauddin Al-Baji seraya berkata, “Orang sepertiku tidak akan berbicara di hadapan Anda; tugasku adalah mengambil faedah dari Anda.” Ini adalah cermin akhlak seorang alim yang memandang ilmu dan persaudaraan lebih utama daripada ego pribadi.

Perpecahan umat, seperti yang diperingatkan oleh Ibnu Taimiyah, hanya akan mengundang kelemahan dan memberi peluang musuh untuk berkuasa. Ini terjadi manakala kita melalaikan perintah Allah dan Rasul-Nya untuk bersatu. Tugas kita sebagai umat yang diperintahkan untuk amar ma’ruf dan nahi munkar adalah senantiasa menyerukan persatuan dan melarang segala bentuk perpecahan yang merusak. Oleh karena itu, marilah kita senantiasa merapatkan shaff, kikis tuntas segala bentuk ta’ashub yang sempit, jauhkan prasangka buruk terhadap sesama, serta buang jauh-jauh perasaan bahwa hanya diri kita yang selalu benar dan yang lain selalu dalam kebatilan. Semoga Allah membimbing kita menuju persatuan dan kedamaian yang hakiki. Wallahu’alam bishowab.

Robby Karman
Ditulis oleh

Penulis, Peminat Kajian Sosial dan Keagamaan.

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel terkait

Hikmah

Era digital membawa kemajuan teknologi yang luar biasa, namun juga membawa tantangan baru bagi umat Islam dalam menjaga dan meningkatkan ketakwaan. Di tengah arus...

Kajian

Metode tafsir maudhu’i, juga dikenal sebagai metode tematik, adalah cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki maksud yang sama, membahas topik yang sama, dan menyusunnya...

Hikmah

Surat Al-Muzammil adalah salah satu surat dalam Al-Qur’an yang memiliki keutamaan dan hikmah yang mendalam. Dengan judul yang berarti “Orang yang Berselimut,” surat ini...

Hikmah

Al-Qur’an, sebagai kitab suci umat Islam, tidak hanya relevan dalam konteks sejarahnya, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari yang dinamis dan beragam zaman modern. Ajaran-ajaran...