RuangSujud.com – Dalam lembaran sejarah Islam yang mulia, kita seringkali menemukan kisah-kisah teladan yang tak lekang oleh zaman. Kisah-kisah tentang para ulama besar, pewaris Nabi, yang tidak hanya gemilang dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga paripurna dalam akhlak dan budi pekerti. Di antara bintang-bintang cemerlang itu, terdapat dua sosok agung: Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Hubungan mereka bukanlah sekadar antara guru dan murid, melainkan sebuah simfoni adab, kerendahan hati, dan saling memuliakan yang patut menjadi cermin bagi kita semua di tengah hiruk-pikuk perbedaan. Mereka menunjukkan bahwa tingginya ilmu takkan berarti tanpa diiringi keindahan budi pekerti.
Imam Ahmad bin Hanbal, seorang faqih dan muhaddits terkemuka yang menjadi pendiri Mazhab Hanbali, lahir di Baghdad pada tahun 164 H. Beliau dikenal sebagai salah satu ulama hadis paling berpengaruh sepanjang masa, dengan karya monumentalnya, *Musnad Ahmad bin Hanbal*, yang memuat lebih dari 750.000 hadis. Meskipun demikian, di balik keagungan ilmunya, Imam Ahmad menyimpan rasa hormat yang luar biasa kepada gurunya, Imam Asy-Syafi’i. Beliau bahkan menggambarkan Imam Asy-Syafi’i bagaikan matahari yang menerangi dunia dan kesehatan bagi setiap tubuh, menegaskan betapa tak tergantikan peran gurunya dalam kehidupannya dan umat.
Kerendahan hati Imam Ahmad tidak berhenti pada pujian verbal semata. Meskipun seringkali terdapat perbedaan pandangan dalam masalah hukum antara keduanya, Imam Ahmad tetap teguh dalam adabnya yang mulia. Dikisahkan oleh Ishaq bin Rahuyah, bahwa Imam Ahmad pernah mengajak untuk menunjukkan seorang yang belum pernah dilihat keagungannya, dan ternyata orang itu adalah Imam Asy-Syafi’i. Yang lebih mengharukan, Imam Ahmad senantiasa mendoakan gurunya itu dalam salatnya selama empat puluh tahun, memohon ampunan Allah bagi dirinya, orang tuanya, dan juga Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i. Sebuah teladan kasih sayang dan penghormatan yang melampaui batas-batas duniawi.
Tidak hanya dari pihak murid, kemuliaan akhlak juga terpancar dari sang guru. Imam Asy-Syafi’i, sang pelita umat, juga tidak ragu untuk memuji keistimewaan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau pernah bersaksi bahwa Imam Ahmad adalah imam dalam delapan perkara: hadis, fikih, Al-Qur’an, bahasa Arab, sunah, zuhud, warak, dan kemiskinan (dalam arti kezuhudan). Bahkan, Imam Asy-Syafi’i menegaskan, “Aku keluar dari Baghdad, dan tidak aku tinggalkan padanya seorang pun yang lebih wara’, paling bertakwa, paling faqih, dan paling berilmu daripada Ahmad bin Hanbal.”
Pujian dan pengakuan ini bukanlah basa-basi, melainkan cerminan dari penguasaan ilmu yang hakiki dan jiwa yang lapang. Imam Asy-Syafi’i, dengan segala kebesarannya, juga pernah berkata kepada Imam Ahmad, “Kamu lebih ‘alim tentang hadis berbanding kami. Sekiranya hadis itu berada di Kufah atau Syam maka beritahulah kepada aku sehingga aku pergi menuju kepadanya.” Pernyataan ini menunjukkan betapa para ulama salaf memiliki adab yang tinggi dalam berilmu, tidak malu untuk mengakui kelebihan orang lain, dan senantiasa haus akan kebenaran dari mana pun datangnya.
Kisah interaksi Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal ini adalah permata berharga yang mengajarkan kita tentang pentingnya adab dalam berilmu, kerendahan hati meski bergelar tinggi, serta ukhuwah yang kokoh meski berbeda pandangan. Mereka adalah bintang-bintang yang menerangi jalan kita menuju ketaatan dan kebaikan, mengingatkan kita bahwa perselisihan dalam masalah furu’iyah tidak boleh mengikis rasa cinta dan hormat. Semoga Allah merahmati kedua imam besar ini dan menganugerahkan kepada kita hidayah dan taufik untuk meneladani akhlak mulia mereka, para sahabat, serta seluruh salafus shalih, agar kita senantiasa teguh dalam kebenaran dan persatuan.


























