RuangSujud.com – Setiap kisah dalam Al-Qur’an adalah lentera penerang bagi perjalanan hidup kita, tak terkecuali kisah agung Nabi Adam `alaihis salam. Ia adalah Bapak Manusia pertama, makhluk mulia yang Allah ciptakan dengan tangan kekuasaan-Nya, menempati surga sebelum diturunkan ke bumi. Namun, seringkali narasi tentang beliau diselimuti salah tafsir, menimbulkan pemahaman yang kurang tepat tentang kemuliaan seorang Rasul. Mari kita selami kembali hikmah di balik penciptaan dan perjalanan awal Nabi Adam, agar kita dapat memahami kehendak Ilahi dan meneladani keteladanan yang sejati, jauh dari pemahaman yang merendahkan derajat beliau.
Salah satu poin krusial yang perlu kita luruskan adalah persepsi tentang dialog antara Allah SWT dan para Malaikat sebelum penciptaan Adam. Al-Qur’an mengabadikan pertanyaan Malaikat, “Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?” (QS. Al-Baqarah [2]: 30). Ini bukanlah bentuk protes keras apalagi penolakan, melainkan sebuah tanggapan yang didasari keterbatasan ilmu para Malaikat atas rahasia Allah yang tak terjangkau. Allah Maha Mengetahui, dan jawaban-Nya, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui,” menegaskan kebijaksanaan tak terbatas yang harus kita yakini, bukan dipertanyakan.
Kemudian, Allah SWT menciptakan Adam dari tanah, mengajarkan kepadanya nama-nama benda, sebuah keistimewaan yang bahkan para Malaikat tidak miliki (QS. Al-Baqarah [2]: 31). Kekaguman mereka memuncak, diakhiri dengan pujian tulus, “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah [2]: 32). Ini adalah bukti nyata kepatuhan total para Malaikat, bahkan saat diperintahkan bersujud kepada Adam. Oleh karena itu, sungguh keliru jika ada pandangan yang menyatakan Malaikat memprotes penciptaan Adam, padahal mereka adalah hamba-hamba yang senantiasa taat pada perintah Allah.
Peristiwa turunnya Nabi Adam dan Hawa dari surga ke bumi pun seringkali disalahartikan sebagai “pengusiran” yang berkonotasi kehinaan dan penolakan abadi. Padahal, Al-Qur’an lebih tepat menggambarkan sebagai “penurunan” atau “pemindahan” (QS. Al-A’raf [7]: 20-21). Ini adalah bagian dari rencana agung Allah SWT untuk menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi, bukan hukuman atas dosa yang tak terampuni. Surga adalah tempat persinggahan awal, sebuah episode penting yang mengantarkan Adam ke medan pengabdian sejatinya di dunia, tempat ia dan keturunannya akan mengemban amanah kekhalifahan dengan akal dan nafsu sebagai ujian.
Lebih jauh, perbuatan Adam dan Hawa memakan buah terlarang juga seringkali disalahpahami sebagai “kesalahan fatal” atau bukti sifat buruk yang diwarisi. Padahal, Al-Qur’an menjelaskan bahwa Adam saat itu dalam kondisi “lupa” (QS. Tha Ha [20]: 115) dan tidak ditemukan padanya kemauan yang kuat untuk melanggar. Sebagai seorang Nabi, Adam `alaihis salam adalah sosok yang maksum, terjaga dari dosa besar. Kisah ini mengajarkan kita tentang fitrah manusia yang bisa khilaf atau lupa, namun yang terpenting adalah bagaimana beliau segera bertaubat dengan sungguh-sungguh, menjadi teladan keikhlasan dalam memohon ampunan Allah SWT.
Saudaraku seiman, mari kita perbaiki pemahaman kita tentang Nabi Adam `alaihis salam. Beliau adalah Rasul Allah yang mulia, terbebas dari dosa, dan merupakan simbol kemanusiaan yang dianugerahi akal serta kemampuan bertaubat. Bukanlah manusia mewarisi “sifat buruk” dari Adam, melainkan pelajaran tentang bagaimana menghadapi godaan, menyadari kekhilafan, dan kembali kepada Allah dengan tulus. Dengan memahami kisah ini secara benar, kita akan semakin mengagungkan kebijaksanaan Allah dan meneladani kesabaran, keimanan, serta ketulusan Nabi Adam dalam menjalankan perannya sebagai khalifah di bumi.


























