RuangSujud.com – Kisah penciptaan Nabi Adam dan Siti Hawa selalu menjadi sumber inspirasi tak berkesudahan bagi umat manusia. Ia bukan sekadar narasi masa lalu, melainkan cerminan agung akan kasih sayang dan kebijaksanaan Allah SWT dalam merancang awal mula keberadaan kita. Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an, manusia pertama ini diciptakan dan ditempatkan di sebuah Surga yang penuh kenikmatan, sebuah alam fana yang melampaui segala bayangan kemewahan duniawi, lengkap dengan segala fasilitas yang sempurna dari Sang Maha Pencipta.
Namun, di tengah segala kesempurnaan dan gemerlap Surga, Nabi Adam merasakan sebuah kekosongan. Sebuah kesendirian yang mendalam, karena hakikat manusia (Al-Insan) adalah makhluk sosial yang membutuhkan teman dan pasangan (Al-Anas). Allah SWT, dengan kemahatahuan-Nya, memahami kebutuhan batin ini. Dari tulang rusuk Nabi Adam, diciptakanlah Siti Hawa, pasangan yang mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan. Ayat suci Al-Baqarah: 35 mengabadikan perintah ilahi, “Dan Kami berfirman: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu Surga ini, dan makanlah makanan makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” Sebuah anugerah tempat tinggal yang penuh berkah, sekaligus sebuah ujian ketaatan.
Penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam mengandung hikmah yang mendalam tentang hakikat pernikahan. Ia adalah cerminan tujuan ilahi menciptakan pasangan: untuk sakinah (ketenangan), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang) di antara keduanya. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ar-Rum: 21, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” Hubungan ini dipertegas pula oleh Hadits Nabi ﷺ yang mengajarkan kita untuk memahami dan menyikapi keunikan pasangan dengan penuh kelembutan, layaknya menjaga tulang rusuk yang bengkok namun berharga.
Mengenai lokasi Surga tempat Nabi Adam dan Siti Hawa tinggal, mayoritas ulama meyakini bahwa ia adalah Surga yang kekal di langit, Surga yang dijanjikan bagi orang-orang beriman kelak di akhirat. Pandangan ini didasarkan pada penamaan “Al-Jannah” yang menunjukkan Surga yang sudah umum dikenal, serta dialog antara Nabi Musa dan Nabi Adam yang mengisyaratkan pengusiran dari Surga tersebut. Kebingungan tentang keluarnya Nabi Adam dari Surga dijawab oleh para ulama bahwa Surga Allah memiliki aturan-Nya sendiri; para malaikat, dan bahkan Nabi Muhammad saat Isra’ Mi’raj, bisa masuk dan keluar atas izin dan kehendak-Nya, menunjukkan kemahaluasan kuasa Allah.
Meskipun Surga adalah tempat yang suci, kesalahan yang dilakukan Nabi Adam dan Siti Hawa mendekati pohon terlarang bukanlah cela bagi kesucian Surga, melainkan bagian dari skenario ilahi yang penuh hikmah. Ini menunjukkan bahwa bahkan para Nabi pun tidak luput dari ujian, dan setiap peristiwa yang terjadi berada dalam kehendak dan pengetahuan Allah SWT. Kekhilafan ini, pada akhirnya, adalah titik tolak bagi perjalanan panjang umat manusia di muka bumi, membawa pelajaran berharga tentang ketaatan, pertobatan, dan konsekuensi pilihan.
Terlepas dari berbagai tafsir dan perdebatan keilmuan yang memperkaya khazanah Islam, pesan terpenting dari kisah Nabi Adam dan Siti Hawa adalah bagaimana kita mengambil ibrah (pelajaran) untuk kehidupan kita saat ini. Kisah ini mengingatkan kita akan hakikat penciptaan, pentingnya pasangan dalam hidup, dan tujuan akhir perjalanan kita. Marilah kita senantiasa meningkatkan kualitas ibadah, menjaga hubungan baik dengan sesama, dan memperbanyak amal shaleh, sebagai bekal terbaik menuju perjumpaan dengan Allah. Semoga dengan rahmat dan karunia-Nya, kita semua dikumpulkan dalam Surga-Nya yang abadi. Amin.


























