RuangSujud.com – Setiap jiwa mendambakan kedamaian, setiap hati merindukan kemuliaan. Visi luhur ini, sejatinya telah menjadi amanah turun-temurun bagi setiap peradaban, terutama dalam membentuk generasi penerus bangsa. Di tengah hiruk pikuk modernisasi, kita kerap diingatkan bahwa pondasi sejati kemajuan adalah akhlak mulia, sebuah tujuan yang tidak hanya tercantum dalam cita-cita kenegaraan, namun juga selaras dengan risalah kenabian yang mulia. Inilah hakikat pendidikan yang seharusnya: menuntun setiap insan menuju kesempurnaan jiwa dan raga. Jalan Pendidikan Indonesia, kini dihadapkan pada tantangan untuk mengukuhkan kembali esensi mulia ini.
Rasulullah ﷺ sendiri, teladan terbaik bagi umat manusia, menegaskan misi suci kenabian: “Innamaa buitstu li-utammima makaarimal akhlaq,” yang berarti “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” Sebuah hadis riwayat Muslim lebih lanjut menjelaskan bahwa “kebaikan adalah bagusnya perangai,” sementara “dosa adalah apa yang mengganjal di dadamu dan engkau pun tidak suka diketahui oleh orang lain.” Ini mengisyaratkan bahwa akhlak mulia bukan sekadar etika sosial, melainkan cerminan kejernihan hati dan ketakwaan yang mendalam, terhimpun dari seluruh ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad ﷺ.
Para ulama salaf, dengan kearifan ilmunya, telah merumuskan esensi akhlak mulia. Imam al-Ghazali mengurai sifat-sifatnya: pemalu, jujur lisan, banyak bekerja, penyabar, bersyukur, pengasih, menjaga kehormatan, hingga cinta dan benci karena Allah. Senada dengan itu, Yusuf bin Asbath menyertakan tanda-tanda seperti jarang berseteru, mudah memaklumi, serta fokus pada kekurangan diri sendiri. Puncak dari semua ini, sebagaimana pandangan Ibnu al-Haitsam, adalah pembentukan “al-insān al-kāmil” atau manusia sempurna, pribadi yang menyeimbangkan keadilan, keberanian, kesucian diri, dan kebijaksanaan, demi mencapai kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat.
Namun, bagaimana gerangan kita menapaki jalan menuju kesempurnaan akhlak ini? Kuncinya terletak pada kurikulum pendidikan yang tak hanya berfokus pada kecerdasan kognitif, melainkan juga pada “tazkiyyatun nafs” atau pensucian jiwa. Kurikulum yang sahih harus mampu membimbing setiap individu untuk membersihkan diri dari penyakit-penyakit hati seperti sombong, dengki, riya’, ujub, hingga “hubbud-dunya” (cinta dunia) yang berlebihan. Tanpa pijakan agama yang kokoh sebagai fondasinya, upaya membentuk akhlak mulia ibarat membangun istana di atas pasir, mudah runtuh diterpa badai kehidupan.
Maka, sungguh keliru jika pendidikan hanya dimaknai sebagai bekal untuk “mencari makan” atau meraih jabatan semata. Meskipun penting, itu hanyalah sebagian kecil dari tujuan mulia pendidikan. Prof. Syed Muhammad Naqib al-Attas dengan tegas merumuskan: “The purpose for seeking knowledge in Islam is to produce a good man.” Artinya, tujuan hakiki menuntut ilmu dalam Islam adalah melahirkan manusia yang baik. Manusia yang jiwanya sehat akan memahami bahwa setiap amanah, baik jabatan maupun kekayaan, adalah pertanggungjawaban berat di hadapan Allah, bukan ladang untuk berbangga diri atau mengumpulkan dosa.
Oleh karenanya, adalah keniscayaan bagi kita untuk memastikan bahwa Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 secara tegas mengakui dan mengukuhkan peran agama dalam setiap sendi pembentukan akhlak mulia. Sebagaimana disuarakan oleh banyak kalangan, termasuk Ketua Umum Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir, frasa “agama” patut untuk ditegaskan. Visi pendidikan nasional yang sejati harusnya berbunyi: “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai agama, budaya Indonesia, dan Pancasila.” Sebab, hanya dengan bimbingan Ilahi, kita dapat mencetak generasi yang tak hanya cerdas dan terampil, namun juga beriman teguh dan berjiwa bersih, siap mengarungi dunia dengan penuh keberkahan dan kemuliaan.


























