Di balik keteguhannya yang luar biasa dalam mempertahankan kebenaran, Imam Ahmad bin Hanbal juga dikenal sebagai sosok yang sangat zuhud, rendah hati, dan penuh kasih terhadap sesama. Ia bukan hanya ulama besar dalam ilmu, tetapi juga teladan agung dalam kesederhanaan dan akhlak.
Imam Ahmad lahir di Baghdad pada tahun 164 Hijriah (780 M), dan sejak kecil ia sudah menunjukkan semangat menuntut ilmu yang tinggi. Meskipun hidupnya serba sederhana, ia tak pernah mengeluh. Ibunya yang salehah membesarkannya dengan penuh kesabaran dan mendidiknya agar cinta pada Al-Qur’an dan ilmu agama lebih dari segalanya.
Ketika mulai belajar, ia tidak punya banyak uang untuk membeli buku atau alat tulis. Namun semangatnya begitu besar. Ia rela menulis dengan potongan tulang atau daun kurma agar tidak ketinggalan pelajaran. Dalam menuntut ilmu, Imam Ahmad tidak hanya belajar di Baghdad. Ia melakukan rihlah ilmiah (perjalanan menuntut ilmu) ke Kufah, Basrah, Yaman, hingga Syam, demi mengumpulkan hadis dan bertemu para ulama besar.
Ia dikenal sebagai hafizh hadis yang luar biasa, menguasai lebih dari 700.000 hadis. Tapi di balik keluasan ilmunya, Imam Ahmad tetap hidup sangat sederhana. Ia menolak menerima hadiah dari penguasa, takut hatinya terikat pada dunia. Rumahnya kecil, pakaiannya sederhana, dan makanannya pun sering hanya roti kering dan air.
Ketika orang memuji kealimannya, ia selalu merendah dan berkata,
“Aku hanyalah seorang yang mencari ilmu. Jika aku benar, itu dari Allah; jika salah, itu dari diriku.”
Kesederhanaan Imam Ahmad juga terlihat dalam ibadahnya. Ia dikenal rajin shalat malam, berpuasa sunnah, dan selalu berzikir di setiap waktu. Bahkan di masa tuanya, ketika tubuhnya lemah karena pernah disiksa, ia tetap bangun malam untuk berdiri di hadapan Allah.
Dalam kehidupan sosial, Imam Ahmad sangat peduli terhadap orang miskin. Ia sering menyembunyikan pemberiannya agar tidak diketahui orang lain. Suatu hari, seorang muridnya berkata, “Wahai Imam, engkau sering menolak hadiah, tapi selalu memberi kepada orang lain.” Ia menjawab dengan lembut,
“Aku khawatir hadiah akan membuatku lupa kepada Allah, tapi memberi membuatku lebih dekat kepada-Nya.”
Meski sangat dihormati, Imam Ahmad tidak pernah menempatkan dirinya di atas orang lain. Ia selalu menasihati murid-muridnya untuk menjaga adab, tidak membanggakan ilmu, dan menjauhi perdebatan yang tidak bermanfaat. Ia berkata,
“Ilmu tanpa akhlak adalah kehancuran, dan amal tanpa niat adalah kesia-siaan.”
Kehidupan Imam Ahmad menunjukkan bahwa kemuliaan seorang ulama bukan diukur dari gelar atau kemewahan, tetapi dari keikhlasan, kesabaran, dan ketulusan hati.
Ia wafat pada tahun 241 Hijriah (855 M) di Baghdad. Saat jenazahnya diantarkan, ribuan orang dari berbagai lapisan masyarakat — ulama, tentara, pedagang, hingga orang miskin — datang untuk memberi penghormatan terakhir. Itu adalah bukti cinta umat kepada seorang alim yang hidupnya penuh ketulusan.
Dari Imam Ahmad bin Hanbal, kita belajar bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada kekuasaan, tapi pada kesabaran dan keteguhan hati dalam mempertahankan prinsip. Ia sederhana dalam hidup, tapi agung dalam ilmu — seorang ulama yang hidupnya menjadi cermin keikhlasan dan cahaya bagi umat hingga hari ini.
