Nama Imam Asy-Syafi’i dikenal luas di seluruh dunia Islam sebagai ulama besar yang tidak hanya menguasai hadis dan fikih, tetapi juga sebagai perintis ilmu ushul fikih, yaitu metodologi untuk memahami hukum-hukum Islam secara sistematis dan ilmiah. Ia adalah sosok yang menyatukan akal dan wahyu, teks dan logika, ilmu dan adab dalam satu kesempurnaan keilmuan.
Imam Asy-Syafi’i lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 Hijriah (767 M) — tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Sejak kecil, beliau sudah menunjukkan kecerdasan luar biasa. Ia hafal Al-Qur’an pada usia tujuh tahun dan kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia sepuluh tahun. Ia tumbuh di Mekkah, tempat ilmu agama berkembang pesat, dan di sanalah bakat ilmunya mulai bersinar.
Guru-guru Imam Syafi’i adalah ulama-ulama besar dari berbagai mazhab. Ia berguru kepada Imam Malik bin Anas di Madinah, mempelajari hadis dan adab langsung dari sumbernya. Setelah wafatnya Imam Malik, ia melanjutkan perjalanan ke Irak untuk mendalami fikih rasional dari murid-murid Imam Abu Hanifah. Dari pertemuan dua tradisi besar — Madinah dan Kufah — lahirlah pemikiran yang seimbang antara teks dan rasio.
Keistimewaan terbesar Imam Asy-Syafi’i adalah kemampuannya menata ulang cara berpikir hukum Islam. Ia menyusun metodologi yang jelas tentang bagaimana menggali hukum dari sumber-sumber syariat, melalui kitabnya yang monumental, “Ar-Risalah.” Di dalamnya, ia menjelaskan urutan sumber hukum Islam: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
Dengan sistem ini, ia meletakkan fondasi bagi ilmu ushul fikih, yang menjadi pedoman bagi para ulama setelahnya. Karena itu, ia disebut sebagai “Nasir as-Sunnah” (Pembela Sunnah) dan “Peletak Dasar Ushul Fikih.”
Imam Syafi’i juga dikenal karena kecerdasannya yang luar biasa dalam berdebat. Namun, meskipun sering berhadapan dengan ulama lain, ia selalu menjaga adab dan kehormatan lawan bicaranya. Ia pernah berkata,
“Pendapatku benar, tapi mungkin salah; pendapat orang lain salah, tapi mungkin benar.”
Kalimat itu menunjukkan kerendahan hati yang luar biasa, sekaligus menjadi teladan bagi umat Islam dalam berdiskusi tanpa kebencian.
Selain ahli ilmu, Imam Syafi’i juga seorang penyair dan orator ulung. Kata-katanya sering mengandung hikmah mendalam, seperti,
“Barang siapa menuntut ilmu tanpa adab, maka ia bagaikan api tanpa kayu — padam sebelum menyala.”
Imam Syafi’i wafat di Kairo, Mesir, pada tahun 204 Hijriah (820 M). Namun, pemikirannya terus hidup dan menjadi dasar bagi jutaan umat Islam di dunia, termasuk Indonesia, Malaysia, dan sebagian besar Asia Tenggara yang menganut Mazhab Syafi’i.
Ia bukan sekadar seorang ulama, tapi arsitek intelektual Islam, yang menjadikan ilmu fikih berdiri kokoh di atas dasar wahyu dan akal sehat. Melalui Imam Asy-Syafi’i, umat belajar bahwa kesempurnaan agama tidak hanya dijaga dengan hafalan, tapi juga dengan pemahaman yang mendalam dan hati yang bersih.
