Monitorday.com – Selain dikenal sebagai ahli hadis dan pendiri mazhab besar, Imam Malik bin Anas juga dikenang sebagai sosok ulama yang tegas dan berani dalam menegakkan kebenaran. Ia tidak gentar menghadapi tekanan penguasa, bahkan ketika nyawanya terancam. Bagi Imam Malik, kebenaran tidak bisa ditawar — meskipun harus dibayar dengan penderitaan di dunia.
Kisah keteguhannya terjadi di masa kekuasaan Khalifah Al-Manshur dari Dinasti Abbasiyah. Saat itu, terjadi pertentangan politik antara khalifah dan masyarakat Madinah yang mendukung Abdullah bin Hasan, seorang keturunan Nabi ﷺ. Imam Malik, yang tinggal di Madinah, diminta memberikan pendapat hukum tentang sumpah setia (bai’at) kepada khalifah.
Dengan keberanian luar biasa, Imam Malik menjawab bahwa bai’at yang dilakukan di bawah tekanan tidak sah menurut syariat. Pendapat itu membuat murka penguasa, karena dianggap melemahkan legitimasi mereka. Akibatnya, Imam Malik ditangkap dan dicambuk hingga pundaknya terlepas dari sendi.
Namun, dalam keadaan disiksa, ia tetap tidak menarik ucapannya. Ketika seorang murid bertanya mengapa beliau tetap tegas padahal bisa saja berdiplomasi, Imam Malik menjawab dengan tenang,
> “Aku tidak akan menjual agamaku untuk dunia mereka.”
Kabar tentang keteguhan Imam Malik menyebar ke seluruh Madinah. Umat menghormatinya bukan hanya karena ilmunya, tetapi karena keberaniannya mempertahankan prinsip di tengah tekanan. Bahkan setelah kejadian itu, Khalifah Al-Manshur menyesal dan meminta maaf, lalu mengirim hadiah besar — yang kemudian ditolak dengan lembut oleh Imam Malik.
Beliau berkata,
> “Ilmu adalah amanah dari Allah. Siapa yang menjadikannya alat untuk mendekat kepada penguasa, maka ia telah mengkhianati amanah itu.”
Sikap independen Imam Malik dalam beragama membuatnya sangat dihormati oleh para ulama sezamannya. Imam Asy-Syafi’i, muridnya yang terkenal, berkata:
> “Ketika para ulama disebut, maka Maliklah bintangnya.”
Keteguhan Imam Malik menjadi pelajaran besar bagi umat Islam: bahwa seorang ulama sejati bukanlah yang pandai bicara di hadapan penguasa, melainkan yang berani berkata benar meski di hadapan kekuasaan yang menindas.
Ia wafat di Madinah pada tahun 179 H, namun semangat perjuangannya tetap hidup. Di masanya, ia menjaga agama dengan ilmu dan keberanian; di masa kini, ia menginspirasi umat agar tidak takut berdiri di sisi kebenaran.
Dari keteladanannya, kita belajar bahwa ilmu tanpa keberanian adalah lumpuh, dan keberanian tanpa ilmu adalah buta. Imam Malik memiliki keduanya — menjadikannya teladan abadi bagi para pencinta kebenaran.
