Ikhtilaf atau perbedaan pendapat dalam Islam bukanlah suatu aib, melainkan tanda kekayaan intelektual dalam tradisi keilmuan umat. Sejak zaman para sahabat hingga masa para imam mazhab, perbedaan selalu ada dan justru menjadi bukti bahwa Islam tidak kaku, melainkan dinamis dalam merespons realitas zaman.
Secara etimologis, ikhtilaf berasal dari kata khalafa yang berarti menyelisihi. Dalam konteks syariah, ikhtilaf merujuk pada perbedaan pandangan para ulama dalam menafsirkan dalil-dalil agama, baik Al-Qur’an maupun Hadis. Perbedaan ini lahir dari beragam faktor seperti perbedaan pemahaman bahasa Arab, perbedaan dalam menilai kekuatan hadis, atau perbedaan dalam pendekatan metodologis.
Contoh nyata ikhtilaf adalah dalam masalah fikih, seperti posisi tangan dalam salat, hukum qunut, atau jumlah rakaat tarawih. Semua perbedaan ini lahir dari niat yang sama: mengamalkan agama dengan sebaik mungkin. Maka dari itu, ikhtilaf tidak boleh dijadikan alasan untuk memecah umat atau merasa lebih benar dari yang lain.
Para ulama klasik seperti Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad bin Hanbal tidak pernah mengklaim bahwa pendapatnya adalah satu-satunya kebenaran. Mereka selalu membuka ruang bagi pendapat lain. Bahkan Imam Syafi’i pernah berkata, “Pendapatku benar tapi bisa jadi salah, pendapat orang lain salah tapi bisa jadi benar.”
Dengan memahami hakikat ikhtilaf, kita akan menjadi lebih toleran dan bijak dalam menyikapi perbedaan. Perbedaan itu bukan ancaman, melainkan rahmat jika dihadapi dengan adab.
