Monitorday.com – Perdebatan mengenai sahnya taubat dari perbuatan zina tanpa menjalani hukuman had—baik rajam bagi yang sudah menikah maupun dera bagi yang belum menikah—masih menjadi sorotan di kalangan ulama dan masyarakat Muslim. Isu ini krusial mengingat variasi penerapan hukum pidana Islam di berbagai negara, sehingga memunculkan pertanyaan esensial tentang penerimaan taubat bagi pelaku yang tidak dikenakan sanksi fisik sesuai syariat.
Polemik ini mencakup dua skenario utama dalam syariat Islam: ketika perbuatan zina terungkap dan diketahui oleh pemerintah atau otoritas melalui empat saksi atau pengakuan sukarela pelaku, serta ketika perbuatan tersebut tetap tersembunyi. Dalam skenario pertama, mayoritas ulama sepakat bahwa hukuman had wajib ditegakkan sebagai konsekuensi duniawi atas perbuatan tersebut.
Salah satu pandangan kuat menyatakan bahwa hukuman had wajib ditegakkan, bahkan jika pelaku telah bertaubat, terutama bila perbuatan itu telah diakui atau terbukti. Pandangan ini, dianut oleh mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Dhahiriyah, dan sebagian Syafi’iyah, berargumen bahwa hukuman tersebut berfungsi sebagai pembersih dosa di dunia dan bentuk kaffarah.
“Barangsiapa memberitahukan perbuatannya kepada kami, maka akan kami tegakkan atasnya hukum Allah,” demikian sabda Rasulullah ﷺ sebagaimana diriwayatkan Zaid bin Aslam, menegaskan konsekuensi pengakuan perbuatan zina.
Di sisi lain, mazhab Hanabilah dan sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa taubat yang dilakukan sebelum perbuatan zina diketahui oleh pemerintah atau sebelum hukuman had ditegakkan akan menggugurkan hukuman tersebut. Mereka berpegang pada ayat-ayat Al-Quran yang mengisyaratkan pengampunan bagi mereka yang bertaubat dan memperbaiki diri.
“Kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang,” bunyi QS An Nisa’: 16, yang sering dijadikan dasar argumen ini, menunjukkan adanya anjuran untuk berpaling dari mereka yang telah bertaubat. Pandangan ini juga didukung oleh prinsip menjaga kerahasiaan dosa dan anjuran untuk tidak menceritakan perbuatan maksiat kepada orang lain. Dengan demikian, taubat nasuha (taubat sungguh-sungguh) diharapkan diterima Allah SWT tanpa perlu menjalani hukuman fisik di dunia, terutama jika perbuatan tersebut tidak diketahui publik.


























