Monitorday.com – Konsep bersyukur atau syukur, terutama dalam menghadapi ujian hidup dan kematian, menjadi fokus utama dalam ajaran Islam. Individu yang mampu bersabar atas cobaan, menerima takdir, dan tetap bersyukur atas ujian yang menimpa dirinya, dianggap mencapai tingkatan spiritual yang agung, menggabungkan kesabaran dan keridaan. Sikap ini diyakini mendatangkan balasan istimewa langsung dari Allah SWT.
Ujian terbesar bagi umat manusia adalah kematian, sebuah keniscayaan bagi setiap jiwa, termasuk para Nabi. Kepergian Nabi Muhammad SAW sendiri disebut sebagai musibah paling berat yang pernah menimpa umat, menjadi tolok ukur kesabaran dan keteguhan iman bagi setiap Muslim di hadapan kehilangan besar. Hal ini menegaskan bahwa tidak ada kehilangan yang lebih mulia dan menyentuh daripada kepergian Sang Rasul.
Al-Qur’an secara tegas menyatakan universalitas kematian: “Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad); maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?” (Al-Anbiya`: 34). Rasulullah SAW sendiri bersabda, menekankan bobot musibah ini: “Jika salah seorang dari kalian tertimpa musibah, hendaknya dia mengingat musibahnya karena (kematian)ku, karena ia adalah musibah terbesar.” (Riwayat Ad-Darimi).
Mereka yang tetap berpegang teguh pada sunah dan akhlak Nabi setelah wafatnya, serta setia kepada ajaran Allah, disebut sebagai golongan yang bersyukur. Allah SWT berfirman: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. ” (Ali-Imran: 144). Lebih lanjut ditegaskan, “Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. ” (Ali-Imran: 145). Meski demikian, Al-Qur’an juga mengingatkan: “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (Saba`: 13). Keimanan dan syukur dikaitkan dengan penghapusan azab, sebagaimana firman-Nya: “Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui. ” (An-Nisa`: 147). Serta hubungan syukur dengan zikir: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. “(Al-Baqarah: 152).
Kisah Fudhail bin Iyadh dan putranya, Ali, menyoroti kompleksitas respons terhadap musibah. Ketika Ali wafat saat sedang mengimami salat dengan membaca ayat, “Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya.” (Ash-Shaffat: 24), Fudhail menunjukkan kesabaran luar biasa. Setelah mengurus jenazah putranya, beliau tersenyum, menjelaskan bahwa itu adalah bentuk syukur kepada Rabb-nya. Ibnu Taimiyyah mengulas bahwa sikap Rasulullah SAW yang bersedih atas meninggalnya putra beliau lebih sempurna. Rasulullah menampakkan ubudiyah kasih sayang, keridhaan, dan ketundukan secara bersamaan, sesuai dengan fitrah manusia dalam menghadapi keadaan kritis, sementara Fudhail lebih menonjolkan ubudiyah keridaan semata.
Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bahwa baik kesedihan maupun senyuman dalam musibah dapat menjadi bentuk ibadah, asalkan tidak melanggar tuntunan iman. Yang terpenting adalah menampakkan kekhusyukan, ketawadhukan, dan ketundukan terhadap takdir Allah. Allah SWT menegaskan bahwa musibah diturunkan agar manusia memohon kepada-Nya dengan rendah diri: “Kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka…” (Al-An`am: 42-43).