RuangSujud.com – Di tengah hiruk pikuk kehidupan dunia yang seringkali melalaikan, setiap Muslim mendambakan sebuah hati yang unggul; hati yang senantiasa terhubung dengan Sang Pencipta, peka terhadap kebenaran, dan teguh dalam ketaatan. Hati yang seperti ini bukanlah karunia yang datang tanpa upaya, melainkan buah dari kesadaran mendalam dan perjuangan jiwa yang tak henti. Para ulama salaf telah banyak menuntun kita dengan mutiara hikmah untuk meraih kemuliaan hati yang demikian, membimbing kita melewati jerat dunia menuju keabadian.
Salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan seringkali tak disadari adalah ujub, rasa bangga atas amal ketaatan. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengingatkan kita untuk selalu memadamkan bara ujub dengan mengingat siapa yang kita cari ridha-Nya, nikmat apa yang kita harapkan, dan siksaan apa yang kita takuti. Dengan merenungi keagungan Allah SWT, betapa kecilnya amal kita di hadapan-Nya akan terasa, sehingga kesucian niat (ikhlas) tetap terjaga. Sejalan dengan itu, hati yang sehat juga ditandai dengan rasa hina dan bersalah yang mendalam saat tergelincir dalam dosa, sebuah tanda bahwa pintu hidayah dan rahmat Allah masih terbuka lebar.
Adapun tanda keunggulan hati yang lain adalah kemampuannya mengukur setiap untung dan rugi dengan timbangan akhirat, bukan semata hitungan duniawi yang fana. Sebagaimana Rasulullah SAW pernah mencontohkan saat menyedekahkan kambing, beliau mengubah perspektif Aisyah radhiyallahu anha dari “hanya paha yang tersisa” menjadi “semuanya masih tersisa kecuali pahanya saja” – menunjuk pada pahala yang abadi. Kita juga perlu mewaspadai angan-angan dunia yang panjang dan tipuan kenikmatan sesaat, yang para ulama ibaratkan dengan semut pengumpul biji yang dipatuk burung, atau burung yang terperangkap jerat karena terlena biji, bahkan domba yang asyik makan sementara pisau telah diasah untuknya.
Hati yang unggul juga memahami bahwa kebaikan adalah penawar bagi keburukan. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Hud: 114). Prinsip ini juga dihayati oleh para sahabat mulia, seperti Sayyidina Umar bin Khattab dan Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu anhum, yang rela mengorbankan harta benda berharga sebagai kafarah atas kelalaian kecil dalam ibadah mereka. Merekapun meyakini bahwa tanda diterimanya suatu ketaatan adalah apabila ia diikuti dengan ketaatan lain, dan na’udzubillah, tanda tidak diterimanya adalah ketika ia menjerumuskan pada kemaksiatan.
Selain itu, hati yang mulia tidak akan meremehkan amalan kecil atau menunda-nunda kebaikan. Ia menyadari bahwa gunung tersusun dari kerikil-kerikil dan banjir besar bermula dari tetesan-tetesan air. Rasulullah SAW bahkan memotivasi umatnya untuk bersegera dalam kebaikan tanpa menunda, sekalipun waktu yang tersedia amat sempit. Sabda beliau, “Bila kiamat terjadi sedang di tangan salah seorang di antara kalian memegang bibit, maka bila ia mampu untuk tidak bangkit hingga menanamnya, maka hendaklah ia menanamnya.” (HR. Bukhari). Ini adalah seruan untuk senantiasa produktif dan beramal shalih hingga akhir hayat.
Maka, hati yang demikianlah yang akan senantiasa unggul dalam setiap keadaan; tidak mudah depresi, tak mengenal lelah, dan tak sedikitpun goyah tekadnya oleh komentar atau penilaian manusia. Karena yang diharapkan hanyalah keridhaan Allah Rabb semesta alam, bukan pujian makhluk yang fana. Namun, perlu diingat, untuk mencapai tingkatan hati seperti ini tidaklah cukup dengan berangan-angan atau menunggu mukjizat. Ia menuntut usaha maksimal, mujahadah yang gigih, serta keteguhan dalam melatih diri agar senantiasa berada dalam cahaya petunjuk-Nya.