RuangSujud.com – Seringkali, pemahaman kita tentang ibadah terasa begitu sempit, terbatas pada rangkaian gerak shalat, lantunan dzikir, atau tilawah Al-Qur’an semata. Anggapan ini memang tidak sepenuhnya keliru, sebab para malaikat Allah pun senantiasa beribadah dalam ketaatan yang tak terputus. Namun, tahukah kita bahwa tujuan utama penciptaan manusia jauh melampaui batas-batas tersebut? Allah Ta’ala berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Ayat mulia ini membentangkan samudra makna ibadah yang lebih luas, sebagai inti keberadaan dan misi hidup kita di dunia.
Ayat tersebut, sebagaimana ditafsirkan oleh Ibn Katsir, menjelaskan bahwa penciptaan kita untuk beribadah bukanlah karena Allah membutuhkan kita, melainkan karena kitalah yang memerlukan ibadah tersebut. Ibadah adalah perintah yang tak terelakkan, sebuah jembatan yang menghubungkan hamba dengan Penciptanya, tak peduli suka atau terpaksa tunduk. Untuk membimbing kita dalam menapaki jalan ini, Allah telah mengutus suri teladan terbaik, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, agar seluruh umat mengikutinya secara totalitas. Sesungguhnya, setiap amal ketaatan yang kita lakukan adalah demi kebaikan diri kita sendiri, untuk kemaslahatan di dunia dan kebahagiaan abadi di akhirat.
Maka, marilah kita meluaskan cakrawala pemahaman tentang ibadah. Sayyid Qutb, dalam tafsirnya, mengingatkan kita bahwa manusia, dengan fitrahnya yang memiliki hawa nafsu, dapat mengubah seluruh gerak dan napas kehidupannya menjadi ibadah. Setiap aktivitas yang diniatkan ikhlas karena Allah, bahkan hal-hal duniawi sekalipun, berpotensi mendatangkan pahala yang melimpah. Mencuci pakaian, mengajar, mencari nafkah, memasak untuk keluarga, menyayangi pasangan dan anak, hingga sekadar tersenyum tulus, semuanya bisa bernilai ibadah jika niatnya adalah untuk meraih ridha Allah Ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya setiap amalan bergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari).
Namun, dalam keindahan ibadah yang menyeluruh ini, kita tak boleh melupakan pilar-pilar utama yang secara eksplisit diperintahkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah. Shalat fardhu, tilawah Al-Qur’an, dzikir pagi petang, serta ibadah-ibadah sunnah lainnya adalah santapan rohani yang tak tergantikan. Mereka adalah fondasi yang kokoh, sumber kekuatan spiritual yang menopang seluruh aspek kehidupan kita, memastikan hati senantiasa terhubung dengan Sang Maha Pencipta dan jiwa mendapatkan ketenangan sejati.
Perjalanan iman seorang Muslim tak selalu mulus; ada kalanya semangat beribadah membara, namun tak jarang pula rasa malas menyelinap. Abdullah Ibn Mas’ud RA mengingatkan kita dengan hikmahnya, “Sesungguhnya bagi setiap hati ada saat-saat giat dan semangat, juga ada saat-saat lemah dan malas. Maka manfaatkanlah dengan beramal sebaik-baiknya tatkala ia giat dan semangat, kemudian istirahatkanlah tatkala ia lemah dan malas.” Ibarat tanah subur yang siap ditanami, manfaatkanlah waktu-waktu giat itu untuk menuai kebaikan sebanyak-banyaknya. Namun, saat hati terasa kering dan tandus, janganlah memaksakan diri, melainkan berilah ruang untuk beristirahat dan memulihkan semangat.
Dalam menghadapi pasang surut ini, teladan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengajarkan kita sebuah rahasia besar: istighfar. Beliau senantiasa beristighfar setidaknya 70 kali sehari, bukan karena dosa, melainkan sebagai bentuk kerendahan hati, pengingat diri, dan upaya menjaga hati dari segala gangguan, termasuk kemalasan dalam beribadah. Dengan istighfar, kita memohon ampunan, membersihkan hati, dan memompa kembali semangat untuk mengabdi kepada-Nya. Semoga setiap langkah dan niat kita senantiasa menghantarkan pada ibadah yang tulus, meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat, serta merasakan kekayaan hati yang hanya dapat diperoleh dengan mendekatkan diri kepada Allah.*/Imam Nawawi