Ruang Sujud

Hakikat Ujian: Sabar dan Syukur Sejati

RuangSujud.com – Perjalanan hidup seorang mukmin ibarat pelayaran di samudra luas, penuh gelombang ujian yang tak terduga. Seringkali kita hanya membayangkan ujian sebagai kesulitan, penderitaan, atau kekurangan. Namun, pernahkah kita merenungkan bahwa puncak-puncak kenikmatan, limpahan rezeki, dan segala bentuk kesenangan pun sejatinya adalah ujian yang tak kalah berat, bahkan mungkin lebih menantang? Inilah hakikat mendalam yang diajarkan dalam Islam: setiap karunia dan setiap musibah, keduanya menuntut kesabaran dan rasa syukur yang tulus dari lubuk hati.

Memang, bersabar saat ditimpa kesusahan adalah suatu kejelasan yang mudah diterima akal dan hati. Namun, kesabaran dalam lingkaran kesenangan, yaitu kesabaran untuk tetap istiqamah dalam ketaatan dan tidak terlena oleh gemerlap dunia, seringkali terabaikan. Para ulama salafush shalih, pendahulu kita yang mulia, pernah berkata, “Kami telah diuji dengan kesusahan dan kami mampu bersabar. Namun, kami telah diuji dengan kesenangan, ternyata kami tidak mampu bersabar.” Sebuah pengakuan yang jujur, menggambarkan betapa tipisnya batas antara kenikmatan dan kelalaian.

Rasulullah ﷺ pun mengajarkan kita untuk waspada terhadap segala bentuk ujian. Beliau bersabda, “Aku berlindung kepada-Mu dari ujian kefakiran dan dari keburukan ujian kekayaan.” Hadis ini menunjukkan bahwa baik kefakiran maupun kekayaan, keduanya mengandung potensi keburukan jika tidak dihadapi dengan iman yang teguh. Seringkali kefakiran, meski pahit, justru menjadi penempa jiwa, memperbaiki keadaan banyak manusia dengan mengajari mereka rendah hati dan bergantung hanya kepada Allah. Sebaliknya, kekayaan, bila tidak disikapi dengan bijak, bisa menjadi hijab yang tebal dari ketaatan dan rasa syukur. Tak heran jika sejarah mencatat, mayoritas penghuni surga justru datang dari kalangan yang bersahaja, sebab ujian kefakiran cenderung lebih ringan bebannya.

Al-Quran, petunjuk hidup kita, juga mengabadikan gambaran tentang respons manusia terhadap ujian ini. Allah SWT berfirman dalam Surah Hud ayat 9-11, yang artinya, “Dan apabila Kami berikan kepada manusia rahmat dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut darinya maka dia akan berputus asa dan tidak berterima kasih. Dan apabila kami berikan kesenangan setelah kesusahan yang menimpanya pastilah dia akan berkata, ‘Telah hilang bencana-bencana itu dariku.’ Sesungguhnya dia sangat gembira dan bangga. Kecuali orang-orang yang bersabar dan melakukan amal salih, bagi mereka ampunan dan pahala yang sangat besar.” Ayat ini dengan jelas menyoroti kecenderungan manusia untuk lupa diri dalam kesenangan dan putus asa dalam kesusahan, kecuali mereka yang memiliki pondasi kesabaran dan amal saleh.

Dari sini, kita memahami bahwa bersabar dalam musibah dan bersyukur dalam nikmat adalah dua pilar kewajiban seorang mukmin yang tak terpisahkan. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang harus selalu ada. Meninggalkan salah satunya bisa berujung pada sanksi dan kerugian di hadapan Allah. Bahkan dalam kondisi senang, kesabaran bisa berbentuk menahan diri dari godaan syahwat yang mubah sekalipun, menjadikannya sunnah, atau bahkan wajib bila berkaitan dengan hak-hak Allah. Dan di tengah kesusahan, meskipun bukan sunnah untuk bersyukur atas musibah itu sendiri, sedikitnya rasa syukur atas hikmah di baliknya, ditambah kesabaran, akan mendatangkan ampunan dan keberkahan.

Sungguh, setiap ketetapan Allah, baik yang terlihat sebagai kebaikan maupun yang dirasa sebagai kesulitan, adalah nikmat dan bagian dari rencana-Nya yang sempurna. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh Syaikh Ibn Taimiyyah, Allah Maha Mengetahui hikmah di balik setiap peristiwa, sementara kita hanya memiliki sedikit pengetahuan. Maka, mari kita senantiasa memohon kekuatan untuk bersabar dalam setiap ujian dan bersyukur atas setiap karunia, karena sejatinya, semua yang datang dari Allah adalah anugerah terindah bagi hamba-Nya yang beriman.

Exit mobile version