Ruang Sujud

Teladan Adab Ilmu: Harun Ar Rasyid dan Imam Malik

RuangSujud.com – Dalam lembaran sejarah Islam yang mulia, tersimpan banyak hikmah dan teladan yang abadi, terutama mengenai adab dalam menuntut ilmu. Ilmu adalah cahaya, warisan para nabi, yang tak sepatutnya direndahkan apalagi diobral. Kisah pertemuan antara dua tokoh besar, Khalifah Harun Ar Rasyid, pemimpin yang berkuasa, dengan Imam Malik bin Anas, ulama besar Madinah, adalah cermin berharga tentang bagaimana seharusnya kemuliaan ilmu dijaga dan dihormati.

Suatu ketika, Khalifah Harun Ar Rasyid berniat mengundang Imam Malik untuk menyampaikan hadits di istananya. Namun, dengan penuh adab dan kebijaksanaan, Imam Malik menyampaikan sebuah prinsip fundamental: “Wahai Amirul Mukminin, ilmu itu didatangi, dan tidak mendatangi.” Jawaban ini bukanlah penolakan semata, melainkan penegasan akan kedudukan ilmu yang luhur; ia adalah mutiara yang harus dicari dengan kesungguhan, bukan dihadirkan begitu saja di hadapan kekuasaan.

Khalifah Harun Ar Rasyid, dengan pemahaman yang mendalam, akhirnya mendatangi rumah sang Imam. Saat bersandar di dinding, sebuah teguran halus kembali terucap dari lisan Imam Malik, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya termasuk dari mengagungkan Allah adalah menghormati orang yang lebih tua.” Nasihat ini bukan hanya tentang adab kepada yang lebih tua secara usia, melainkan juga adab kepada seorang alim, kepada pemilik ilmu, yang seyogianya dihormati dalam setiap gerak dan sikap.

Tergerak oleh untaian hikmah tersebut, Khalifah pun segera mengubah posisinya, duduk dengan penuh tawadhu’ di hadapan Imam Malik. Momen itu menjadi titik balik baginya, lantas ia berkata, “Wahai Abu Abdullah, dengan tawadhu’ terhadap ilmumu, aku memperoleh manfaat darinya.” Kata-kata ini adalah pengakuan jujur bahwa keberkahan ilmu baru akan terasa saat penuntutnya merendahkan hati, menanggalkan segala kebesaran duniawi di hadapan sumber ilmu itu sendiri.

Khalifah melanjutkan pengakuannya dengan sebuah perbandingan yang mencengangkan, “Sedangkan telah bertawadhu’ kepadaku ilmu Sufyan bin Uyainah, maka aku tidak memperoleh manfaat darinya.” Diketahui bahwa Sufyan bin Uyainah kala itu mendatangi keluarga khalifah di rumah mereka, menyampaikan hadits, dan bahkan menerima dirham sebagai imbalan. Perbedaan ini menegaskan bahwa integritas seorang alim, cara ia menghadirkan ilmu, dan niat di baliknya sangat menentukan keberkahan dan manfaat ilmu yang disampaikan. Ilmu bukan komoditas yang diperdagangkan, melainkan amanah yang dijaga kemuliaannya.

Kisah agung ini mengajarkan kita bahwa kemuliaan ilmu dan para pewarisnya harus senantiasa dijaga. Tawadhu’ atau kerendahan hati dalam menuntut ilmu, menghormati guru dan ulama, serta memposisikan ilmu sebagai sesuatu yang sangat berharga dan sakral, adalah kunci utama untuk meraih keberkahan dan manfaat yang hakiki darinya. Semoga kita semua dapat meneladani adab para salafus shalih dalam berinteraksi dengan ilmu, agar setiap langkah pencarian kita dipenuhi cahaya dan hidayah dari Allah SWT.

Exit mobile version