Ruang Sujud

Nasihat Imam Al-Ghazali: Hakikat Kerendahan Hati

RuangSujud.com – Dalam perjalanan mengarungi samudera kehidupan, seringkali kita tergoda untuk menilai diri sendiri, menimbang kebaikan atau keburukan yang telah terukir. Namun, seorang ulama besar yang cahaya ilmunya tak lekang oleh zaman, Imam Al-Ghazali rahimahullah, hadir dengan nasihat yang amat mendalam dan menyejukkan hati. Beliau mengingatkan kita tentang hakikat kerendahan hati, sebuah permata spiritual yang memancarkan keindahan akhlak dan kedekatan kepada Sang Pencipta.

Imam Al-Ghazali dengan tegas berpesan, janganlah sampai kita melihat diri kita lebih baik daripada orang lain. Mengapa demikian? Karena kebaikan yang hakiki, yang benar-benar bernilai di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, adalah penilaian-Nya di akhirat kelak. Sebuah perkara ghaib yang hanya Dia yang Maha Mengetahui, dan sangat bergantung pada bagaimana keadaan kita saat menghembuskan napas terakhir. Ini adalah pelajaran krusial tentang pentingnya husnul khatimah, penutup hidup yang baik, yang tak seorang pun dapat menjaminnya kecuali dengan karunia-Nya.

Oleh karena itu, sang Hujjatul Islam mengajak kita untuk senantiasa memandang sesama dengan kacamata tawadhu’ atau kerendahan hati yang tulus. Ketika mata kita menangkap sosok seorang anak kecil, bisikkanlah dalam hati, “Ia belum pernah berbuat maksiat kepada Allah, sedangkan aku telah mengotorinya dengan dosa. Sungguh, tak diragukan lagi, ia lebih baik dariku.” Dan apabila bertemu dengan orang yang lebih tua, renungkanlah, “Orang ini telah beribadah dan mengabdi sebelum aku. Maka, tentu saja ia lebih utama dariku.”

Tidak hanya itu, kebijaksanaan Imam Al-Ghazali juga membimbing kita saat berinteraksi dengan orang-orang berilmu maupun yang awam. Jika bersua dengan seorang alim, katakanlah pada diri sendiri, “Orang ini telah menggapai apa yang belum aku peroleh. Bagaimana mungkin aku menyamai derajatnya?” Dan jika bertemu dengan orang yang terlihat bodoh, bisikkanlah, “Ia bermaksiat dalam kebodohan, sedangkan aku berbuat dosa dalam keadaan tahu. Maka, hujjah (dalil) Allah atas diriku lebih kuat. Dan siapa yang tahu, bagaimana akhir hidupnya dan akhir hidupku nanti?”

Puncak kedalaman tawadhu’ ini bahkan menyentuh pandangan kita terhadap mereka yang berbeda keyakinan. Imam Al-Ghazali mengajarkan, jika engkau melihat seorang kafir, janganlah buru-buru menghakimi. Renungkanlah, “Aku tidak tahu, bisa saja suatu hari ia memeluk Islam, dan akhir hidupnya ditutup dengan amalan yang baik serta keislamannya akan menghapus dosa-dosanya. Sedangkan aku, wal ‘iyadzu billah (aku berlindung kepada Allah dari hal ini), bisa saja Allah menyesatkanku hingga aku kufur dan mengakhiri usia dengan amalan keburukan. Sehingga ia kelak termasuk mereka yang dekat dengan rahmat, sedangkan aku jauh darinya.” Ini adalah pengingat akan misteri takdir dan luasnya rahmat Allah.

Nasihat Imam Al-Ghazali ini bukanlah sekadar untaian kata, melainkan sebuah panduan hidup yang akan membersihkan hati dari penyakit kesombongan dan ujub. Dengan mempraktikkan tawadhu’ ini, kita diajak untuk selalu berprasangka baik kepada sesama, menyadari keterbatasan diri, dan senantiasa berharap hanya kepada rahmat Allah. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari mutiara kebijaksanaan ini, menjadikan kerendahan hati sebagai mahkota dalam setiap langkah, demi meraih keridaan Ilahi di dunia dan akhirat.

Exit mobile version