RuangSujud.com – Setiap orang tua mendambakan lahirnya generasi yang berakhlak mulia, kokoh dalam iman, dan jujur dalam setiap perilakunya. Visi luhur ini bermula dari pondasi keluarga, di mana peran seorang ayah berdiri tegak sebagai pilar utama, bukan sekadar penopang ekonomi, melainkan juga pembimbing jiwa. Kejujuran, sebuah permata akhlak yang tak ternilai harganya, harus ditanamkan sedini mungkin. Ia adalah cerminan integritas diri dan landasan bagi harmoni masyarakat, yang sejatinya bermula dari keteladanan seorang ayah dalam membimbing putra-putrinya menuju jalan kebenaran.
Al-Qur’an mengisahkan berbagai teladan peran ayah dalam mendidik anak, salah satunya yang teruk indah dalam Surah Yusuf ayat 97-98. Ayat ini merekam sebuah dialog penuh hikmah, di mana anak-anak Nabi Ya’qub ‘alaihissalam dengan penuh penyesalan mengakui kesalahan mereka dan memohon agar sang ayah memintakan ampunan kepada Allah SWT. Dengan kebijaksanaan yang mendalam, Nabi Ya’qub menjawab, “Aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sungguh, Dia Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Jawaban ini bukan sekadar janji, melainkan sebuah pelajaran berharga tentang hakikat taubat dan pengampunan.
Perhatikanlah penggunaan kata “سَوۡفَ” yang bermakna ‘akan’ atau ‘nanti’ dalam jawaban Nabi Ya’qub. Para ulama tafsir, seperti Ibnu Asyur, menyoroti penundaan permohonan ampunan ini bukan tanpa alasan. Ia mengisyaratkan adanya hikmah mendalam: mungkin Nabi Ya’qub memilih waktu-waktu mustajab untuk berdoa, seperti waktu sahur atau malam Jumat, demi memastikan doa tersebut lebih berpeluang dikabulkan. Lebih dari itu, penundaan ini juga menjadi bagian dari pendidikan spiritual bagi anak-anaknya; agar mereka merasakan bobot dosa yang telah diperbuat, memperdalam penyesalan, dan semakin menyadari keagungan Allah Ta’ala yang Maha Pengampun.
Kisah ini juga mengingatkan kita pada prinsip keadilan dalam Islam, terutama terkait dengan kezaliman terhadap sesama. Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa permohonan ampunan anak-anak Nabi Ya’qub kepada ayah mereka juga dilandasi oleh kesadaran bahwa mereka telah menyakiti hati sang ayah. Dalam Islam, siapa pun yang menzalimi saudaranya wajib untuk meminta maaf dan membayar ‘kafarah’ (denda atau penebus dosa) jika memungkinkan, serta memberitahukan kadar kezaliman yang telah diperbuat. Hadis Rasulullah ﷺ dalam Shahih Bukhari menegaskan urgensi ini: “Barang siapa yang pernah menzalimi saudaranya… hendaklah ia meminta dihalalkan (dimaafkan) oleh saudaranya itu hari ini juga, sebelum datang hari di mana tidak ada lagi dinar dan dirham.” Ini adalah peringatan keras tentang pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Dari penafsiran para ulama, kita belajar bahwa mendidik kejujuran, menanamkan rasa tanggung jawab, dan membimbing anak menuju taubat yang tulus bukanlah proses yang instan. Ia membutuhkan waktu, kesungguhan, dan kepekaan spiritual yang diasah oleh seorang ayah yang bijaksana. Seperti Nabi Ya’qub yang mempersiapkan permohonan ampunan bagi anak-anaknya dengan sepenuh hati, demikian pula seorang ayah modern hari ini hendaknya menjadi teladan dalam setiap langkah, mengajarkan anak untuk berani mengakui kesalahan, memahami beratnya dosa, dan senantiasa kembali kepada Allah dengan hati yang ikhlas.
Sungguh, ikatan antara ayah dan anak adalah ladang subur untuk menumbuhkan nilai-nilai mulia. Kisah Nabi Ya’qub ini menjadi mercusuar inspirasi bagi kita semua, bahwa pengampunan, terutama untuk dosa besar, memerlukan proses pendalaman spiritual. Doa seorang ayah yang tulus, dipanjatkan pada waktu-waktu pilihan, bukan sekadar pelengkap, melainkan wujud cinta kasih yang membimbing anak-anak menuju ridha Ilahi. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari teladan para Nabi, menciptakan keluarga yang dipenuhi cahaya kejujuran dan ketakwaan, di bawah bimbingan ayah yang senantiasa menuntun dengan cinta dan kebijaksanaan.