RuangSujud.com – Pernahkah terbayang bagaimana sebuah keyakinan sanggup mengubah padang tandus hati menjadi kebun yang subur penuh ketaatan? Itulah mukjizat iman, tatkala wahyu pertama Allah SWT diturunkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW, ia bukan sekadar informasi, melainkan lentera yang menerangi jiwa-jiwa yang dahulunya terisolir, mengubah pandangan, pola pikir, dan seluruh laku kehidupan sehari-hari menjadi tunduk dan patuh pada Ilahi Rabbi. Sebuah revolusi spiritual yang mengalirkan keberanian luar biasa dalam sanubari para pendahulu kita.
Di antara mereka, kita mengenal Khadijah binti Khuwailid, sang Ummul Mukminin yang mengorbankan seluruh harta kekayaannya tanpa gentar sedikit pun. Baginya, tak ada yang lebih berharga di muka bumi ini melebihi titah Allah SWT, meski harus menghadapi ancaman dan tekanan dari kaum kafir. Begitu pula Abu Bakar Ash-Shiddiq, seorang saudagar kaya yang menyambut seruan tauhid dengan sepenuh hati, tanpa keraguan. Rasulullah SAW bersabda, “Saya tidak mengajak seseorang masuk Islam kecuali ada maju mundurnya, kecuali Abu Bakar.” Beliau lebur dalam perjuangan Islam, bahkan pernah menginfakkan seluruh hartanya demi tegaknya agama Allah.
Kisah keimanan juga terukir pada Bilal bin Rabah, seorang budak yang menemukan kemerdekaan sejatinya bukan dari manusia, melainkan sebagai hamba Allah semata. Ia tak pernah diperbudak oleh posisi, komisi, atau kepentingan duniawi, melainkan hanya menjadi ‘Abdullah dan Khalifatullah. Ketika disiksa di bawah teriknya matahari dengan batu besar menindih dadanya, lisannya tak henti menggemakan, “Ahad, Ahad!” Menyatakan keesaan Tuhan yang tak tergoyahkan. Tak ketinggalan pula keluarga Ammar bin Yasir, yang rela kehilangan nyawa demi keyakinan mereka, termasuk Sumayyah yang syahid. Janji Rasulullah SAW kepada mereka, “Sabarlah wahai keluarga Yasir, sesungguhnya janjimu adalah surga,” adalah bukti kemuliaan iman yang mengantarkan pada kebahagiaan abadi.
Inilah hakikat keimanan yang sejati, sebagaimana dicontohkan oleh salafus shalih. Sebuah keyakinan yang menghunjam jauh di dalam hati, terbebas dari keraguan, serta memancar dalam setiap gerak-gerik dan orientasi hidup. Keimanan yang membawa pemiliknya merasakan ‘sa’adatud darain’—kebahagiaan di dunia dengan petunjuk-Nya dan keselamatan di akhirat dengan kenikmatan surga-Nya. Ini bukan sekadar ‘mata” atau kepuasan sesaat yang fana, melainkan ‘nikmat’ abadi yang belum pernah mata saksikan, telinga dengar, dan hati bayangkan.
Iman adalah perpaduan sempurna antara pembenaran hati (at-tashdiqu bil qalbi), ucapan lisan (qaulun bil lisan), dan pembuktian dengan amal perbuatan anggota tubuh (amalun bil arkan wal jawarih). Ia jauh melampaui sekadar pengakuan lisan seperti kaum munafik, atau hanya tampilan ibadah lahiriah tanpa ketulusan niat mencari ridha Allah. Apalah artinya kemajuan yang diukur hanya dari asesoris lahiriah, jika ruhani dan adab terabaikan? Sesungguhnya, kualitas imanlah yang membedakan manusia, membawa pada kehidupan yang terang benderang dengan bimbingan Ilahi.
Maka, marilah kita meneladani para pendahulu yang mulia. Jadikan iman sebagai pedoman utama, meletakkan ketetapan Allah di atas segalanya, tanpa keberatan atau pamrih. Sebagaimana pepatah sastra Arab mengajarkan, “Siapa yang tidak berani mencoba untuk mendaki gunung (khawatir tergelincir dari puncak), maka selamanya ia akan hidup di lembah-lembah.” Iman sejati memberikan keberanian untuk menghadapi tantangan, mengubah kesulitan menjadi bagian dari panorama kehidupan, dan menjawab pertanyaan fundamental keberadaan kita. Ia adalah rukun yang mampu menjelaskan rahasia kehidupan dan mengantarkan kita pada kemenangan yang besar, Insya Allah.