RuangSujud.com – Setiap tanggal 2 Mei, hati kita tersentuh untuk merenungi hakikat pendidikan, mengenang jasa para pendahulu yang telah berjuang demi mencerdaskan bangsa. Namun, lebih dari sekadar mengenang, momentum ini seyogianya membimbing kita pada perenungan mendalam: sudahkah pendidikan kita mengantarkan generasi pada cahaya keimanan, ketajaman akal, dan kemuliaan akhlak yang sejati? Realitas terkini justru mengundang keprihatinan, mengisyaratkan bahwa perjalanan pendidikan kita masih menghadapi tantangan besar yang mendesak untuk diurai, bukan hanya dari sisi infrastruktur, melainkan juga dari fondasi spiritualnya.
Potret dunia pendidikan kita hari ini, khususnya di Indonesia, menampilkan sejumlah fakta yang menggugah nurani. Jutaan anak usia sekolah masih terhalang akses, fasilitas yang tidak memadai, dan kualitas yang belum merata adalah bagian dari lukisan suram tersebut. Data mengenai kekurangan ruang kelas, minimnya jumlah guru, hingga anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena keterbatasan biaya, bagaikan cermin yang menunjukkan betapa jauhnya kita dari cita-cita pendidikan yang holistik dan inklusif. Kondisi ini bukan sekadar angka, melainkan menggambarkan hilangnya potensi jutaan jiwa yang seharusnya dapat berkembang menjadi mutiara peradaban.
Lebih dari itu, dampak dari rapuhnya sistem pendidikan ini merambah hingga ke sendi-sendi moral. Maraknya tawuran, penyalahgunaan narkoba, hingga pergaulan bebas di kalangan pelajar dan mahasiswa adalah cerminan dari kekosongan nilai dan orientasi hidup yang hakiki. Ketika institusi pendidikan yang seharusnya menjadi benteng moral justru gagal membekali generasi dengan kekuatan iman dan integritas, maka tidak mengherankan jika berbagai perilaku menyimpang menjadi pemandangan yang memilukan. Ini adalah sinyal darurat bagi kita semua, bahwa pendidikan bukan hanya tentang transfer ilmu, melainkan pembentukan karakter yang berlandaskan takwa.
Menilik lebih dalam, akar permasalahan ini agaknya terletak pada paradigma pendidikan yang cenderung sekuler dan materialistis. Ketika ilmu pengetahuan dipisahkan dari nilai-nilai transendental, dan keberhasilan diukur semata dari capaian duniawi, maka esensi pendidikan sebagai jalan menuju kearifan Ilahi pun terkikis. Alih-alih melahirkan generasi yang bertakwa, berilmu, dan berakhlak mulia, kita justru berisiko mencetak individu-individu yang rentan terhadap godaan dunia, jauh dari semangat pengabdian kepada Allah SWT dan sesama. Inilah bahaya besar ketika pendidikan kehilangan ruhnya, menjadi kering tanpa sentuhan nilai-nilai keagamaan.
Dalam perspektif Islam, pendidikan adalah sebuah amanah agung yang bertujuan membentuk insan kamil, yaitu pribadi yang memiliki kedalaman iman, ketajaman akal, kepekaan nurani, kecakapan berkarya, dan keluasan wawasan, yang semuanya terbingkai dalam ketaatan kepada Allah SWT. Ia tidak hanya berorientasi pada kesiapan memasuki dunia kerja, melainkan juga pada pembentukan karakter yang bertakwa. Tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu dunia; keduanya adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan memakmurkan bumi. Individu, masyarakat, dan negara memiliki tanggung jawab kolektif untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif, sebagaimana dicontohkan oleh peradaban Islam di masa lampau yang melahirkan ilmuwan-ilmuwan ulung dengan fondasi iman yang kokoh.
Maka, jika kita mendambakan generasi yang tangguh, cerdas, berintegritas, dan mampu menjadi pemimpin peradaban, jalan kembali kepada sistem pendidikan Islam adalah sebuah keniscayaan. Sistem yang tidak hanya fokus pada kecerdasan intelektual, tetapi juga spiritual dan emosional, yang mengajarkan bahwa ilmu adalah cahaya dan petunjuk dari Allah SWT. Ini berarti menghadirkan kembali nilai-nilai syariat dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam kurikulum, metodologi pengajaran, hingga budaya kampus. Hanya dengan mengembalikan pendidikan pada fitrahnya sebagai sarana pembentukan hamba Allah yang paripurna, kita dapat mengurai benang kusut ini dan meniti jalan kebangkitan umat. Wallahu a’lam bishowab.