RuangSujud.com – Hati manusia adalah medan pertarungan abadi antara kebeniran dan kesesatan, antara kerendahan hati dan kesombongan. Di sanalah letak kunci kemuliaan seorang hamba di sisi Rabbnya, atau justru kehinaan yang menyesatkan. Sungguh, Islam mengajarkan kita bahwa kerendahan hati bukanlah tanda kelemahan, melainkan mahkota keimanan yang sejati, sebuah fitrah suci yang memancarkan cahaya ketawadhuan. Sebaliknya, kesombongan adalah tirai tebal yang menutup hati dari hidayah, sebuah penyakit spiritual yang pasti menyertai jiwa-jiwa yang berpaling dari kebenaran Illahi.
Dua sifat yang sangat kontras ini, keimanan dan kesombongan, takkan pernah bisa bersemayam bersama dalam satu sanubari. Rasulullah ﷺ, sang Nabi pembawa rahmat, pernah bersabda, “Tidak akan masuk neraka, seseorang yang mana dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari iman, dan tidak akan masuk Surga seseorang yang mana dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan.” (HR: Muslim). Hadits agung ini menegaskan betapa iman dan kesombongan adalah dua kutub yang tak mungkin bertemu. Maka, bukan tanpa hikmah jika Al-Qur’an pun kerap kali melukiskan tabiat kedua golongan ini—mukmin dan kafir—secara bertentangan, terutama dalam menyikapi petunjuk-petunjuk Allah yang suci.
Sungguh indah gambaran Al-Qur’an tentang hati seorang mukmin yang tunduk. Ketika sebagian Ahli Kitab yang mukmin di awal dakwah di Makkah mendengar lantunan ayat-ayat Al-Qur’an, jiwa mereka bergetar penuh rasa hormat. Allah SWT berfirman, “…Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud. Mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi”. Mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS: Al-Isra’: 107-109). Hati yang bersih, peka terhadap kebenaran, akan segera memantulkan cahaya Ilahi, membawa kedamaian dan kelapangan, sebagaimana ruangan gelap yang terang benderang tatkala cahaya menyinarinya. Mereka senantiasa memohon, “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu; karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang Maha Pemberi.” (QS: Ali ‘Imran: 8).
Namun, berbanding terbalik dengan itu adalah tabiat kaum yang ingkar. Saat berhadapan dengan cahaya kebenaran, hati mereka justru tertutup rapat, bahkan sengaja menguncinya dari dalam. Mereka dengan angkuh berkata, “Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi kami dari) apa yang kamu serukan, dan pada telinga kami ada sumbatan. Antara kami dan kamu ada dinding. Maka, bekerjalah kamu, sesungguhnya kami bekerja (pula).” (QS: Fusshilat: 5). Sungguh, iman takkan dapat menembus hati yang terkunci sedemikian rupa, ibarat membangunkan orang yang pura-pura tidur, jauh lebih sulit daripada orang yang benar-benar terlelap. Lebih memilukan lagi, Al-Qur’an mengisahkan betapa dalam kebencian mereka terhadap kebenaran, hingga memohon azab: “Ya Allah, jika betul (Al-Qur’an) ini adalah yang benar dari sisi-Mu, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.” (QS: Al-Anfal: 32). Sebuah permohonan yang tak masuk akal, menggambarkan betapa angkuh dan buta hati mereka.
Dari gambaran-gambaran suci ini, Rasulullah ﷺ menyimpulkan fitrah keimanan dan tabiat kekafiran. Beliau bersabda, “Maukah aku kabarkan kepada kalian siapa penghuni Surga? Merekalah orang yang lemah lagi diremehkan orang lain. Namun jika dia bersumpah dengan menyebut nama Allah, pasti Allah akan mengabulkannya. Maukah aku kabarkan pada kalian siapa penghuni Neraka? Merekalah orang yang kasar, tak sabaran lagi sombong.” (HR: Al-Bukhari dan Muslim). Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi ini sejatinya adalah diagnosa spiritual yang Allah berikan kepada kita. Ia menyingkap gejala-gejala keimanan dan kekafiran yang bersemayam dalam hati, yang tak terlihat mata namun nyata adanya dalam perilaku dan sikap jiwa.
Sebagai hamba-Nya yang Maha Penyayang, Allah tak hanya mendiagnosa, namun juga menganugerahkan terapi yang sempurna: syariat-Nya yang terangkum dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi. Al-Qur’an sendiri adalah “obat dari segala penyakit hati, petunjuk, dan rahmat bagi kaum beriman” (QS. Yunus: 57 dan al-Isra’: 82). Maka, mari kita lakukan introspeksi diri secara berkala, memeriksa tanda-tanda mana yang mendominasi jiwa kita. Jika kerendahan hati dan iman menghiasi kalbu, panjatkanlah doa agar senantiasa diteguhkan, seraya mengiringinya dengan amal saleh. Namun, jika ada bibit-bibit kesombongan atau kekerasan hati, ingatlah bahwa Allah telah menyediakan resep-resep manjur untuk mengatasinya. Semoga Allah senantiasa memberkahi kita dengan hati yang tawadhu’ dan menjauhkan kita dari kesombongan, agar kita termasuk golongan hamba-Nya yang beruntung di dunia dan akhirat. Amin ya Rabbal ‘alamin.