Ruang Sujud

Hadits Jibril: Fondasi Islam, Iman, Ihsan

RuangSujud.com – Merenungi samudra hikmah dalam ajaran Islam, kita kerap diingatkan akan sebuah dialog agung yang sarat makna. Sebuah percakapan yang tak hanya mengurai pilar-pilar agama kita, namun juga menyingkap hakikat keberadaan seorang mukmin sejati. Kisah ini, yang terekam indah dalam Hadits Arbain Imam Nawawi sebagai hadits kedua, mengundang kita untuk menyelami kedalaman Islam, iman, dan ihsan, sebagai peta jalan menuju kesempurnaan beragama.

Dari Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, kita disajikan sebuah pemandangan istimewa saat seorang lelaki tak dikenal, berpenampilan bersih dan menawan, tiba-tiba hadir di majelis Rasulullah ﷺ. Dengan penuh adab, ia bertanya tentang Islam. Rasulullah ﷺ pun menjelaskan bahwa Islam adalah bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji bagi yang mampu. Inilah pondasi utama yang menjadi gerbang bagi setiap jiwa untuk memulai perjalanan sebagai seorang Muslim, sebuah komitmen totalitas dalam ketaatan kepada Sang Pencipta.

Tak berhenti di sana, lelaki misterius itu kemudian bertanya tentang iman. Rasulullah ﷺ menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” Iman bukanlah sekadar pengakuan lisan, melainkan keyakinan kokoh yang bersemayam dalam hati, menjadi landasan bagi setiap pemikiran dan tindakan. Dengan iman, hati menjadi tenang, jiwa terpaut pada kebenaran hakiki, dan setiap peristiwa dunia dipandang dengan kacamata hikmah ilahi.

Puncak dari perjalanan spiritual ini adalah ihsan, yang ditanyakan setelahnya. Jawaban Rasulullah ﷺ begitu menyentuh, “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak mampu melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Ihsan adalah tingkatan tertinggi dalam beribadah, melahirkan keikhlasan, kesungguhan, dan kualitas terbaik dalam setiap amalan. Ia mengajarkan kita untuk selalu merasa diawasi oleh Allah, sehingga setiap gerak-gerik, ucapan, dan niat senantiasa terbingkai dalam kesadaran akan kehadiran-Nya.

Pertanyaan selanjutnya tentang Hari Kiamat menjadi pengingat akan kefanaan dunia. Rasulullah ﷺ dengan jujur menyatakan bahwa yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya, menegaskan bahwa hanya Allah-lah yang Maha Mengetahui waktu pastinya. Namun, beliau ﷺ mengisyaratkan tanda-tandanya: hilangnya rasa hormat anak kepada orang tua, dan perlombaan dalam kemewahan material di kalangan mereka yang sebelumnya miskin. Ini adalah cerminan dari kemerosotan akhlak dan orientasi duniawi yang kian menguat, sebuah peringatan bagi kita untuk senantiasa mawas diri dan mempersiapkan bekal terbaik untuk kehidupan abadi.

Demikianlah, hadits Jibril ini bukan sekadar deretan definisi, melainkan sebuah kurikulum komprehensif yang membentuk pribadi Muslim yang utuh. Ia membimbing kita untuk memiliki akidah yang benar, ibadah yang sempurna, dan akhlak yang mulia. Mari kita jadikan pelajaran dari dialog agung ini sebagai inspirasi untuk terus mengkaji, memahami, dan mengamalkan Islam, iman, dan ihsan dalam setiap denyut kehidupan kita, demi meraih ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia dan kebahagiaan abadi di akhirat kelak. Wallahu a’lam.

Exit mobile version