RuangSujud.com – Dalam setiap liku kehidupan, kita seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan yang berat, ujian yang menguras jiwa, atau perintah yang terasa tidak nyaman. Namun, Al-Qur’an, kalam ilahi yang menjadi petunjuk bagi umat manusia, senantiasa mengajarkan kita kebijaksanaan yang melampaui keterbatasan akal dan perasaan. Salah satunya adalah pemahaman mendalam tentang perjuangan dan pengorbanan di jalan Allah, sebagaimana terungkap dalam firman-Nya di Surat Al-Baqarah ayat 216-218, yang mengingatkan kita bahwa seringkali di balik apa yang kita benci, tersimpan kebaikan yang besar, dan di balik apa yang kita cintai, tersembunyi keburukan. Inilah hikmah agung dari Allah yang Maha Mengetahui, sedang kita tidak mengetahui.
Ayat 216 dari Surah Al-Baqarah ini secara terang menegaskan kewajiban untuk berjuang, meskipun jiwa manusia cenderung enggan menghadapi kesulitan. Perjuangan ini, yang dalam konteksnya seringkali merujuk pada jihad fisik melawan musuh-musuh kebenaran, bukanlah tanpa alasan. Ia adalah ujian sekaligus sarana meraih Surga, sebuah panggilan mulia untuk membela agama dan umat dari penindasan. Sejarah mencatat, umat Islam diizinkan untuk berperang setelah sekian lama dizalimi, dan kewajiban ini, yang semula adalah fardhu kifayah, bisa berubah menjadi fardhu ‘ain manakala tanah air dan keyakinan diserang. Memang, berjihad menuntut pengorbanan harta dan jiwa, berpisah dari keluarga, namun hikmah di baliknya sangatlah agung: kemenangan, pahala syahid, atau kemuliaan dunia akhirat. Sebaliknya, menghindari perjuangan demi kenyamanan sesaat seringkali berujung pada kehinaan dan kemunduran, sebagaimana pelajaran berharga dari kisah-kisah masa lalu seperti di Andalusia.
Kemudian, datanglah pertanyaan tentang berperang di bulan-bulan haram, yang secara tradisional dihormati sebagai waktu larangan pertumpahan darah. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjawabnya dengan tegas dalam ayat 217, bahwa berperang pada bulan tersebut adalah suatu kemungkaran besar. Namun, Dia kemudian mengangkat tabir kebijaksanaan-Nya lebih jauh, menyatakan bahwa ada perbuatan yang jauh lebih besar dosanya di sisi-Nya, bahkan melebihi pelanggaran terhadap kesucian bulan haram itu sendiri. Inilah titik balik yang menunjukkan prioritas Ilahi dalam menilai bobot sebuah tindakan dan kedalaman pemahaman seorang mukmin.
Perbuatan yang lebih besar dosanya itu adalah menghalang-halangi manusia dari jalan Allah – baik dengan menghalangi dakwah Islam, memaksa orang beriman untuk murtad, maupun menutup pintu hidayah. Ditambah lagi dengan kekafiran kepada Allah, menghalangi akses ke Masjidil Haram yang suci, serta mengusir penduduk Mekkah, termasuk Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya, dari tanah kelahiran mereka. Lebih dari itu, fitnah atau penganiayaan yang menyebabkan seseorang murtad dari agamanya, adalah dosa yang jauh lebih kejam daripada pembunuhan. Ini adalah peringatan keras bahwa musuh-musuh Islam tidak akan pernah berhenti memerangi umat ini, tidak hanya dengan senjata, tetapi juga dengan godaan harta, tahta, wanita, dan media massa, hingga umat Islam meninggalkan ajaran agamanya.
Maka, barangsiapa yang murtad dari agamanya lalu meninggal dunia dalam keadaan kafir, sungguh sia-sia lah seluruh amal perbuatannya di dunia dan di akhirat. Inilah konsekuensi terberat dari memilih jalan kesesatan setelah datangnya kebenaran. Peringatan ini menegaskan betapa berharganya iman dan betapa dahsyatnya kerugian bagi mereka yang menggadaikannya. Namun, bagi mereka yang terjatuh dalam dosa murtad dan kemudian bertaubat serta kembali kepada Islam, rahmat Allah senantiasa terbuka lebar. Ini menunjukkan bahwa pintu pengampunan Ilahi tidak pernah tertutup bagi hamba-Nya yang bersungguh-sungguh ingin kembali ke jalan yang lurus, meskipun perjuangan untuk mempertahankan iman adalah jalan yang tak berkesudahan.
Akhirnya, sebagai penutup hikmah yang agung, Surat Al-Baqarah ayat 218 memberikan penghiburan dan harapan. Dinyatakan bahwa sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan tulus, yang berhijrah (meninggalkan keburukan menuju kebaikan), dan yang berjihad di jalan Allah dengan segala bentuk perjuangan, mereka itulah yang paling berhak mengharapkan rahmat Allah. Maha Suci Allah, Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ayat ini menjadi penegas bahwa meskipun perjalanan iman penuh liku dan tantangan, bahkan terkadang terjadi kekeliruan dalam ijtihad, namun niat tulus, kesungguhan berjuang, dan harapan akan rahmat-Nya adalah kunci untuk meraih kebahagiaan sejati di sisi-Nya. Inilah pelajaran berharga tentang prioritas Ilahi, keteguhan hati, dan optimisme dalam menghadapi setiap ujian hidup.