RuangSujud.com – Dalam mengarungi samudera kehidupan yang penuh liku, seorang mukmin senantiasa mencari lentera petunjuk agar langkahnya tak sesat. Al-Quran, kalamullah yang mulia, hadir sebagai mercusuar abadi, bukan hanya menceritakan kisah-kisah lampau, namun juga membentangkan hikmah dan pelajaran berharga untuk masa kini dan masa depan. Ia mengajarkan kita tentang berbagai tabiat manusia, ragam peradaban, serta memberikan bimbingan spiritual dan praktis dalam menghadapi setiap tantangan, termasuk interaksi dengan berbagai kaum dan golongan.
Salah satu petunjuk agung yang diabadikan dalam Al-Quran adalah mengenai sikap dan pandangan terhadap Bani Israil dan kaum Yahudi. Melalui surat Al-Baqarah ayat 108 hingga 110, Allah SWT membuka tabir hakikat dan memberikan arahan yang amat bijaksana bagi umat Islam. Ayat-ayat ini bukan sekadar narasi sejarah, melainkan mengandung pelajaran mendalam tentang keteguhan iman, kesabaran, serta strategi spiritual dalam membina kekuatan diri dan umat, agar tidak mudah terpengaruh oleh hasrat dan tipu daya.
Ayat pertama, “أَمْ تُرِيدُونَ أَن تَسْأَلُواْ رَسُولَكُمْ كَمَا سُئِلَ مُوسَى مِن قَبْلُ…”, mengingatkan kita agar tidak meniru perilaku Bani Israil yang kerapkali meminta mukjizat secara berlebihan dan dengan niat mempersulit Nabi Musa AS. Permintaan mereka yang melampaui batas dan cenderung membangkang, seperti meminta untuk melihat Allah secara terang-terangan, berujung pada kesesatan. Pelajaran berharga bagi kita adalah untuk senantiasa taat pada bimbingan Rasulullah ﷺ, menerima kebenaran dengan lapang dada, serta menjauhi sikap membangkang dan menukar keimanan dengan kekafiran yang hanya akan membawa kita pada jalan yang sesat.
Kemudian, Al-Baqarah ayat 109 menyibak tabir tentang niat sebagian Ahli Kitab yang didorong oleh kedengkian, “وَدَّ كَثِيرٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّاراً حَسَداً مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِمْ…”. Mereka berharap umat Islam kembali pada kekafiran, meskipun kebenaran telah nyata bagi mereka. Di sinilah Al-Quran mengajarkan kita untuk bersikap lapang dada, memaafkan, dan bersabar menghadapi sikap demikian, hingga Allah SWT mendatangkan perintah-Nya. Ini adalah ujian keteguhan iman, di mana kesabaran dan keikhlasan menjadi perisai dari godaan yang melemahkan.
Namun, kesabaran saja tidak cukup. Ayat 110 melengkapinya dengan pilar-pilar kekuatan internal umat: “وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُواْ لأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللّهِ…”. Pertama, menegakkan shalat, sebagai tali penghubung terkuat antara seorang hamba dengan Tuhannya. Dengan shalat, jiwa akan teguh, hati tenang, dan pertolongan Allah akan datang. Kedua, menunaikan zakat, yang bukan hanya membersihkan harta, tetapi juga menguatkan ikatan persaudaraan sesama Muslim, menumbuhkan kepedulian sosial, dan membuka pintu keberkahan. Ketiga, berbuat segala macam kebaikan, karena setiap amal saleh yang kita persembahkan akan kembali kepada kita sebagai bekal di sisi Allah, Sang Maha Melihat setiap perbuatan.
Dari untaian ayat-ayat mulia ini, tergambar jelas bahwa Allah SWT membimbing umat-Nya dengan hikmah yang tak terhingga. Meskipun pada awalnya diajarkan untuk memaafkan dan bersabar, petunjuk Ilahi ini bersifat dinamis, disesuaikan dengan konteks dan kondisi. Kekuatan sejati umat Islam terletak pada kemurnian tauhid, keteguhan dalam beribadah, kebersamaan dalam ukhuwah, dan semangat berlomba dalam kebaikan. Dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip ini, insya Allah, umat akan selalu berada dalam naungan petunjuk dan pertolongan-Nya, menghadapi setiap tantangan dengan penuh keyakinan dan kedamaian. Wallahu A’lam.