Ruang Sujud

Menyingkap Tabir Penghalang Hidayah Ilahi

RuangSujud.com – Hidayah, sebuah karunia tak ternilai dari Ilahi, seringkali diibaratkan sebagai cahaya penuntun menuju Surga-Nya yang abadi. Ia begitu mahal harganya, namun terkadang, kita melihat ada jiwa yang begitu mudah merengkuhnya, cukup dengan seuntai nasihat, hatinya pun terbuka. Sebaliknya, kisah Fir’aun menjadi pelajaran berharga; ketika ia dihadapkan pada pilihan antara kemuliaan duniawi dan petunjuk kebenaran, ia memilih singgasana fana, menutup rapat pintu hidayah bagi dirinya sendiri. Mengapa demikian? Sesungguhnya, perjalanan menuju hidayah seringkali terhalang oleh tabir-tabir yang kita bangun sendiri, tabir-tabir yang menghalangi cahaya kebenaran masuk ke dalam relung hati. Mari kita telaah beberapa penghalang utama yang kerap kali merintangi kita dari jalan Allah yang lurus.

Salah satu penghalang utama adalah kebodohan, baik itu ketidaktahuan akan hakikat Islam maupun keengganan untuk mempelajarinya. Kebodohan ini bahkan dapat menjangkiti orang-orang yang mengaku Muslim, membuat mereka membenci syariat, memusuhi pembelanya, dan mencintai musuhnya. Fenomena yang memilukan, ketika ada yang beranggapan bahwa taubat dan amal shalih akan menyempitkan rezeki, sementara kemaksiatan justru melancarkan urusan duniawi. Ini adalah bentuk ibadah yang bertumpu pada perut dan hawa nafsu, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al Hajj ayat 11, “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi…” Di sisi lain, kegersangan hati pun menjadi penghalang yang tak kalah berbahaya. Hati yang keras, bagaikan tanah tandus yang tak mampu menyerap air hujan, tak akan mampu menerima nasihat dan petuah. Bahkan ilmu yang sempurna pun tak mampu menembus hati yang beku, menjadikannya lemah dalam tekad dan berpaling dari kebenaran.

Penghalang lain yang seringkali muncul adalah kesombongan dan hasad (dengki). Iblis menolak sujud karena sombong, demikian pula kaum Yahudi yang enggan beriman kepada Rasulullah ﷺ meskipun mereka mengenal beliau seperti anak-anak mereka sendiri. Kisah Abu Jahal yang menolak keimanan karena persaingan kehormatan dengan Bani Hasyim, atau Fir’aun yang memilih jabatan daripada hidayah setelah berunding dengan Haman, adalah cermin nyata bagaimana ego dan nafsu kekuasaan dapat membutakan mata hati dari kebenaran yang jelas. Prioritas terhadap kedudukan dan kemuliaan duniawi seringkali mengalahkan seruan iman, membuat seseorang enggan menundukkan diri kepada Allah Yang Maha Agung.

Tidak sedikit pula yang terhalang hidayah karena terlalu mencintai syahwat dan harta dunia. Kekhawatiran akan kehilangan harta warisan, terhalangnya dari minuman keras atau perbuatan zina, menjadi alasan untuk menolak Islam. Mereka dihadapkan pada pilihan antara gemerlap dunia dan seruan iman, dan seringkali kekuatan seruan syahwat dan harta lebih mendominasi. Ini selaras dengan firman Allah dalam QS. Al Ahqaaf ayat 32, yang mengingatkan bahwa orang yang tidak menerima seruan Allah tidak akan mampu melepaskan diri dari azab-Nya. Demikian pula, kecintaan yang berlebihan pada keluarga, kerabat, dan famili juga bisa menjadi tabir. Kekhawatiran akan dikucilkan atau diasingkan oleh lingkungan terdekat, terkadang membuat seseorang enggan mengikuti kebenaran yang diyakininya, memilih untuk tetap berada dalam zona nyaman sosialnya.

Selain itu, rasa takut meninggalkan adat dan tradisi nenek moyang juga merupakan penghalang yang kuat. Kisah Abu Thalib yang meninggal dalam agama Abdul Muthalib, meskipun beliau mencintai dan melindungi Nabi Muhammad ﷺ, adalah contoh nyata bagaimana ikatan tradisi dapat mengalahkan keyakinan hati. Ketika orang-orang diajak mengikuti apa yang diturunkan Allah dan Rasul-Nya, mereka justru berkata, “Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya,” sebagaimana diabadikan dalam QS. Al Maidah ayat 104. Pemikiran bahwa meninggalkan adat berarti mencela leluhur, seringkali menghalangi seseorang untuk membuka diri terhadap kebenaran yang baru, padahal ia telah mengetahuinya bahkan meyakininya.

Sungguh, hidayah adalah anugerah yang harus dijemput dengan kesungguhan dan pengorbanan. Berbagai penghalang ini adalah ujian bagi keimanan kita, panggilan untuk merenungi, membersihkan hati, dan memprioritaskan keridhaan Allah di atas segala-galanya. Mari kita muhasabah diri, apakah ada dari penghalang-penghalang ini yang masih bersemayam dalam diri kita. Dengan kesadaran dan ikhtiar yang tulus, semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk menyingkirkan setiap tabir penghalang, sehingga cahaya hidayah dapat menerangi jalan hidup kita, mengantarkan menuju kebahagiaan abadi di sisi-Nya.

Exit mobile version