RuangSujud.com – Pernahkah hati kita merasakan gelisah, bahkan mungkin sedikit “gregetan,” ketika nasihat kebaikan yang berulang kali kita sampaikan seolah tak berbekas pada jiwa yang kita harapkan? Apalagi bila sosok tersebut adalah mereka yang kita bimbing, seperti murid atau santri, dan kita sendiri adalah seorang guru atau pendidik. Rasa putus asa bisa menyelinap, menggoda kita untuk menyerah atau bahkan bertindak di luar batas kesabaran. Namun, di sinilah terletak ujian terbesar bagi para pengemban amanah dakwah: memahami hakikat hidayah dan peran sejati kita.
Menanggapi gejolak hati semacam ini, seorang ulama terkemuka, KH Dr Asrorun Ni’am Sholeh, Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia, pernah mengingatkan dengan bijak. Beliau menegaskan bahwa tindakan gegabah, apalagi hingga melukai, adalah sebuah kekeliruan besar. Dakwah, menurut beliau, adalah sebuah perjalanan panjang yang membutuhkan proses dan kesabaran, bukan sulap yang menghasilkan perubahan instan. Ia tak bisa disimulasikan seperti “simsalabim” yang mengubah segalanya dalam sekejap mata.
Lebih jauh, hikmah mendalam yang patut kita renungkan adalah bahwa kita tidak dituntut untuk melihat hasil akhir dari upaya dakwah kita. Amanah kita hanyalah pada proses, pada penyampaian kebenaran dengan cara terbaik. Sebab, hak untuk membuka dan melembutkan hati seseorang sepenuhnya berada di Tangan Allah Ta’ala. Bahkan, Nabi Muhammad ﷺ yang mulia sekalipun, tidak memiliki kewenangan untuk memaksa atau memastikan hidayah seseorang. Tugas kita hanyalah menyampaikan, dan jika kebaikan itu diikuti, maka puji syukur kehadirat-Nya. Jika belum, kesabaran adalah kunci.
Kisah agung tentang Nabi Muhammad ﷺ dan pamannya, Abu Thalib, menjadi pelajaran abadi tentang batasan kuasa manusia dalam membukakan pintu hidayah. Abu Thalib adalah sosok yang sangat dicintai Nabi ﷺ, pelindung setia dakwah beliau sepeninggal sang kakek, Abdul Muthalib. Ikatan batin mereka begitu kuat, dipenuhi kasih sayang timbal balik yang tak terhingga, namun takdir hidayah memiliki jalannya sendiri.
Pada detik-detik terakhir kehidupan Abu Thalib, Rasulullah ﷺ dengan segala kerendahan hati dan cinta yang melimpah, datang menuntun pamannya untuk mengucapkan kalimat tauhid. “Wahai pamanku,” pinta Nabi ﷺ dengan suara bergetar, “ucapkanlah ‘La ilaha illallah,’ sebuah kalimat yang akan kubersaksi untukmu di sisi Allah kelak.” Namun, di tengah upaya suci ini, godaan dan bisikan jahil dari Abu Jahal dan Abdullah ibn Abi Umayyah turut mewarnai suasana. Mereka membujuk Abu Thalib untuk tetap teguh pada agama leluhurnya. Meskipun Nabi ﷺ terus mengulang permintaannya, kehendak Allah-lah yang berlaku. Abu Thalib memilih untuk tetap pada keyakinan Abdul Muthalib hingga akhir hayatnya, sebuah pengingat bahwa hati manusia ada dalam genggaman-Nya.
Kisah ini kemudian diabadikan dalam firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an Surat Al-Qashash [28] ayat 56, yang artinya, “Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” Ayat ini menegaskan kembali bahwa hidayah adalah karunia ilahi. Maka, marilah kita senantiasa memupuk kesabaran dalam berdakwah, terus berikhtiar dengan hikmah, dan menyerahkan hasil akhirnya kepada Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya, tugas kita adalah menanam benih, adapun buahnya, itu adalah kehendak-Nya semata. Wallahu a’lam bish-shawab.