RuangSujud.com – Dalam mengarungi samudera kehidupan, kita seringkali diperkenalkan pada dua permata berharga dalam khazanah Islam: *ihsan* dan *itqan*. Keduanya bukan sekadar kosakata indah, melainkan prinsip fundamental yang membimbing setiap langkah seorang Muslim menuju kesempurnaan amal dan keridhaan Ilahi. Ia adalah spirit yang mendorong kita untuk senantiasa berbuat yang terbaik, bukan hanya dalam ibadah ritual, melainkan juga dalam setiap aspek kehidupan, dari interaksi sosial hingga pekerjaan sehari-hari. Sebuah panggilan untuk menghadirkan kualitas prima, sebagai bukti cinta dan ketaatan kepada Sang Pencipta yang Maha Sempurna.
Memahami *ihsan*, kita menyelami maknanya sebagai perbuatan baik, membaguskan, atau melaksanakan sesuatu sesempurna mungkin. Sebuah hadits mulia dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu ‘anhu, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, menegaskan pesan ini: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat ihsan atas segala sesuatu. Maka apabila kalian membunuh, bunuhlah dengan cara yang terbaik. Dan apabila kalian menyembelih, sembelihlah dengan cara yang terbaik. Hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan mata pisaunya dan membuat nyaman hewan sembelihannya.” Imam al-Nawawi bahkan menempatkan hadits ini sebagai dasar keagamaan yang mengisyaratkan pentingnya kesempurnaan dalam setiap amal, bahkan dalam tindakan yang sekilas tampak berat. Ini mengajarkan kita tentang persiapan matang dan kepedulian yang mendalam, bahkan terhadap makhluk yang akan dikorbankan sekalipun.
Bersanding dengan *ihsan* adalah *itqan*, yang berarti menyempurnakan atau mengerjakan dengan sempurna. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha: “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menyukai jika salah seorang di antara kalian melakukan suatu amal secara itqan.” Sungguh menawan, Allah Yang Maha Sempurna mencintai kesempurnaan dari hamba-Nya. Konsep *itqan* juga tercermin dalam firman-Nya di Al-Qur’an Surat An-Naml ayat 88: “(Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Sungguh, Dia Maha Teliti atas apa yang kamu kerjakan.” Ayat ini adalah testimoni agung akan *itqan* Ilahi dalam penciptaan alam semesta, yang seyogyanya menjadi inspirasi bagi kita untuk menghadirkan kualitas serupa dalam setiap ikhtiar kita, secara efektif, efisien, dan optimal.
Gabungan *ihsan* dan *itqan* melahirkan profesionalitas sejati yang menopang kesuksesan di dunia dan akhirat. Spirit ‘menajamkan pisau’ dalam hadits pertama bukan hanya untuk penyembelihan, melainkan sebuah metafora indah untuk kesiapan dan perencanaan matang dalam setiap amal. Sebelum bertindak, kita diajarkan untuk memperhitungkan segala kemungkinan, mengantisipasi kendala, agar tidak ada kerusakan, kegagalan, apalagi menyakiti pihak lain. Jika dalam bermuamalah dengan hewan saja kita diwajibkan untuk berhati-hati, apalagi dalam berinteraksi dengan sesama manusia? Prinsip ini sejalan dengan anjuran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Manfaatkan lima hal sebelum lima hal: waktu mudamu sebelum uzurmu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum fakirmu, luangmu sebelum sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu.” Ini adalah panggilan untuk memanfaatkan modal utama kehidupan dengan perencanaan yang baik demi hasil yang optimal.
Lebih jauh, *ihsan* dan *itqan* menuntut kita untuk menyelesaikan amal hingga tuntas. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surat Al-Insyirah ayat 7: “Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain).” Imam Ath-Thabari menafsirkan ayat ini sebagai anjuran untuk bersungguh-sungguh dalam menyelesaikan suatu urusan, baru kemudian beralih ke urusan lain yang juga diperintahkan Allah. Ini adalah fondasi penting untuk fokus dan ketekunan. Kita juga diingatkan untuk tidak tergesa-gesa, sebagaimana firman Allah dalam Surat Thaha ayat 114: “…dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (membaca) Alquran sebelum selesai diwahyukan kepadamu, dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.'” Ayat ini menekankan pentingnya mendalami ilmu hingga mencapai pemahaman yang sempurna sebelum menyampaikannya kepada orang lain, sebuah cermin dari prinsip *itqan* dalam menuntut ilmu.
Sayangnya, seringkali semangat manusia mengendur di penghujung amal, mengabaikan ‘sentuhan akhir’ yang krusial. Kisah Abdurrahman bin Abu Bakar yang berwudu di sisi Aisyah Radhiyallahu ‘anha dan diingatkan untuk menyempurnakan wudunya karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Celakalah tumit-tumit (yang tak terbasuh air wudu) dengan api neraka,” adalah pengingat yang menusuk hati. Ini adalah gambaran tentang pentingnya *finishing touch* dalam setiap perbuatan. Bayangkan sebuah rumah mewah dengan arsitektur menawan dan bahan berkualitas, namun catnya tidak tuntas atau asal-asalan; keindahannya akan sirna. Demikian pula amal kita. Semoga kita semua tergolong hamba-Nya yang senantiasa beramal dengan *ihsan* dan *itqan*, meraih kesempurnaan yang dicintai-Nya.