RuangSujud.com – Pernahkah sejenak kita merenungkan, mengapa kita diciptakan? Dari janin yang terlindungi dalam rahim ibu, jauh dari bising dunia, terhindar dari panas dan dingin yang ekstrem, hingga kita bertumbuh besar, semua adalah bukti kasih sayang tak terhingga dari Sang Pencipta. Keberadaan kita bukanlah kebetulan, bukan pula sekadar pengisi panggung sandiwara kehidupan. Ada makna mendalam di balik setiap hembusan napas, di balik setiap anugerah yang terhampar di alam semesta ini, menunggu untuk kita selami dan syukuri.
Namun, tak jarang hati kita terlarut dalam gemerlap dunia, mata kita silau oleh fana keindahan fatamorgana, hingga melupakan tujuan utama penciptaan. Pikiran kita kerap tertutup kabut penyakit hati, menyamarkan kebenaran yang sebenarnya begitu jelas terpampang di hadapan. Padahal, jawaban atas segala tanya tentang eksistensi ini hanya satu: ibadah. Ya, Allah Yang Maha Bijaksana menciptakan kita dan seluruh alam semesta ini, tidak lain adalah agar kita beribadah kepada-Nya, mengesakan-Nya dalam setiap sendi kehidupan, dan menomorsatukan kepentingan-Nya di atas segala kepentingan duniawi yang tak berujung.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dengan tegas, “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 56). Ayat ini, sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, bermakna agar kita mentauhidkan-Nya, mengesakan-Nya. Ini adalah pengakuan akan hak mutlak Allah sebagai satu-satunya Pencipta kita, satu-satunya Pemelihara langit dan bumi, yang dengan sempurna menciptakan kita dalam sebaik-baik bentuk. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At Tiin [95]: 4). Tidakkah terlalu zalim jika hak penyembahan dan ketundukan kita dialihkan kepada selain-Nya, padahal Dialah yang memulai dan memelihara seluruh hidup kita?
Lebih jauh lagi, Allah memuliakan kita dengan akal pikiran, karunia istimewa yang tidak diberikan kepada makhluk lain, mengangkat derajat kita di antara ciptaan-Nya. “Dan sungguh Kami telah memuliakan anak Adam.” (QS. Al Isra [17]: 70). Dengan akal itulah kita mampu membedakan hak dan batil, baik dan buruk, serta merenungkan kebesaran-Nya. Di samping itu, Dialah pula yang senantiasa mengaruniakan rezeki tiada henti, tak terhingga jumlahnya, untuk menopang kehidupan kita di bumi. “Atau siapakah dia yang memberi kamu rezeki jika Allah menahan rezeki-Nya?” (QS. Al Mulk [67]: 21). Semua nikmat ini adalah pengingat betapa besar kasih sayang-Nya, yang seharusnya menuntun kita pada rasa syukur dan ketaatan yang tulus.
Kisah hidup manusia mengajarkan bahwa tanpa keseimbangan spiritual, jiwa akan merasakan kehampaan yang mendalam, meski bergelimang harta dan kekuasaan. Kebahagiaan sejati, ketenangan batin, bukanlah komoditas yang bisa dibeli atau dicari di sudut dunia. Ia adalah buah dari pengenalan dan ketaatan kepada Sang Pencipta. Mereka yang menceraikan diri dari dimensi ruhani, yang hidup hanya untuk kesenangan fana dan makan layaknya hewan ternak, pada akhirnya akan mendapati hidupnya bagai fatamorgana yang jauh dari hakikat kebahagiaan, dan semua amal perbuatan mereka menjadi sia-sia di hadapan Allah.
Mari kita perhatikan perjalanan diri kita: dari janin yang dijaga, bayi yang diajari menangis, hingga dewasa dan menua, setiap fase adalah bukti nyata perlindungan dan kasih sayang Allah. Sebagaimana firman-Nya, “Sungguh Kami telah menciptakan Adam dari sari pati tanah… Kemudian Kami ciptakan seorang manusia baru. Allah Mahasuci dari segala kekurangan dalam menciptakan manusia dan Tuhan sebaik-baik pencipta.” (QS. Al-Mukminun [23]: 12-14). Bagi mereka yang mau berpikir, mengambil pelajaran, dan mengikuti fitrah sucinya, alasan beribadah kepada-Nya sungguh terang benderang. Semoga Allah senantiasa menuntun hati dan langkah kita menuju petunjuk dan keridhaan-Nya. Wallahu a’lam Bishshawab.