RuangSujud.com – Dalam lembaran sejarah Islam yang mulia, terdapat sebuah dokumen agung yang terus memancarkan cahaya hikmah hingga kini: Piagam Madinah. Lebih dari sekadar kesepakatan politik, piagam ini adalah cerminan ajaran luhur Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membangun peradaban damai di tengah keberagaman. Ia membuktikan bahwa perdamaian dan pluralisme dapat terwujud bukan melalui kekuatan militer atau kepentingan tersembunyi, melainkan melalui penghormatan, penerimaan tulus, dan penolakan tegas terhadap peperangan. Di masa kini, ketika dunia diguncang perselisihan dan kesalahpahaman antara umat beragama, Piagam Madinah hadir sebagai pengingat akan nilai-nilai universal yang telah diajarkan Islam sejak awal.
Ketika Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah, kota tersebut adalah potret keberagaman yang penuh tantangan. Berbagai suku, mayoritas Arab dan Yahudi, telah bertikai selama hampir seabad, menciptakan ketegangan sosial yang mendalam. Rasulullah diundang ke sana bukan hanya sebagai penengah yang terpercaya, melainkan dengan visi Ilahi untuk menyatukan hati. Ambisi pribadi beliau, yang dianugerahkan oleh Allah SWT, adalah menyebarkan kedamaian dan persatuan, membentuk sebuah *ummah* —komunitas— yang terdiri dari beragam kelompok, melalui ajaran Al-Qur’an dan atas nama Islam. Inilah misi yang melampaui kepentingan duniawi, murni untuk kemaslahatan bersama.
Al-Qur’an menyatakan bahwa Tuhan “mengajar dengan pena” (QS. Al-Alaq: 1-5). Piagam Madinah adalah wujud nyata dari ayat-ayat ini, sebuah contoh bagaimana Allah membimbing manusia dan mengubah pola pikir melalui diskusi dan dialog yang konstruktif. Perdamaian yang tercipta melalui musyawarah dan pemikiran mendalam ini menghasilkan kesepakatan di mana setiap suku merasa dihargai, tanpa merasa kehilangan martabat atau terbebani dendam masa lalu. Pembentukan *ummah* yang didasari rasa hormat dan penerimaan bersama inilah yang menjadi fondasi pluralisme sejati, memerangi kebodohan yang kerap memicu kekerasan dan ketakutan.
Salah satu pilar utama Piagam Madinah adalah pengakuan terhadap pluralisme agama. Klausul 25 secara eksplisit menyatakan, “Orang-orang Yahudi… adalah satu komunitas (*ummah*) bersama kaum Mukmin. Bagi orang Yahudi agama mereka dan bagi kaum Muslimin agama mereka.” Pernyataan luar biasa ini selaras dengan firman Allah dalam Al-Qur’an, “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al-Baqarah: 256), serta ayat “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal saleh, maka bagi mereka pahala di sisi Tuhan mereka” (QS. Al-Baqarah: 62). Rasulullah tidak pernah memaksakan Islam, melainkan menciptakan persatuan di bawah panji etika dan prinsip moral universal yang diemban oleh semua manusia dan agama.
Kepemimpinan Rasulullah SAW dalam merumuskan Piagam Madinah adalah teladan abadi. Beliau menarik karakteristik persatuan, penghormatan, toleransi, dan kasih sayang untuk membangun dan mengelola komunitas pluralistik. Klausul 40 yang menyebutkan, “Tetangga yang dilindungi sama seperti diri sendiri, selama ia tidak melakukan kezaliman dan tidak berkhianat,” menunjukkan jaminan keamanan dan penghormatan bagi setiap individu untuk mengikuti keyakinan dan adat istiadat mereka. Nilai-nilai ini, walau zaman dan politik berubah, tetap lestari dan terpancar dalam kehidupan keseharian umat Muslim di berbagai belahan dunia, menunjukkan wajah Islam yang sesungguhnya: damai, ramah, dan penuh penerimaan.
Di tengah gejolak dan kesalahpahaman yang melanda hubungan antara Muslim, Nasrani, dan Yahudi saat ini, Piagam Madinah hadir sebagai solusi yang relevan dan mencerahkan. Ia mengajarkan bahwa esensi semua agama adalah kebaikan, kasih sayang, dan keadilan. Perdamaian di Madinah terwujud bukan oleh kekuatan atau kekayaan, melainkan oleh prinsip-prinsip Islam yang teguh: toleransi, rahmat, akal sehat, keadilan, dan keyakinan kepada Allah SWT. Semoga dengan merenungi Piagam yang agung ini, kita dapat bersama membangun *ummah* sedunia, di mana setiap insan, tanpa memandang perbedaan, dapat saling menyapa dengan doa, “Assalamu’alaikum” – “Semoga kedamaian menyertaimu.”