Ruang Sujud

Perang Saudara Abbasiyah: Konflik Al-Amin dan Al-Ma’mun yang Membelah Kekhalifahan

Monitorday.com – Tragedi terbesar dalam sejarah Dinasti Abbasiyah terjadi pada awal abad ke-9 M, ketika dua putra Harun ar-Rasyid — Al-Amin dan Al-Ma’mun — saling berperang memperebutkan takhta. Peristiwa ini bukan hanya perang keluarga, tetapi juga perpecahan politik, etnis, dan ideologis yang mengguncang dunia Islam dan menggoyahkan kejayaan yang telah dibangun selama puluhan tahun.

Ketika Harun ar-Rasyid wafat pada tahun 193 H (809 M), ia meninggalkan wasiat yang jelas: Al-Amin menjadi khalifah pertama dan memerintah dari Baghdad, sedangkan Al-Ma’mun diberi wewenang mengelola wilayah timur kekhalifahan dari Khurasan dengan gelar amirul Khurasan. Dalam sistem itu, Al-Ma’mun tetap di bawah otoritas Al-Amin, tetapi memiliki otonomi luas atas wilayahnya.

Awalnya, kesepakatan ini berjalan baik. Namun, setelah Harun ar-Rasyid wafat, ambisi dan pengaruh politik mulai mengaburkan batas kesetiaan. Di Baghdad, Al-Amin dikelilingi oleh para penasihat dan jenderal Arab yang menilai bahwa kekuasaan absolut seharusnya hanya dipegang oleh keturunan Arab murni. Sementara di Khurasan, Al-Ma’mun mendapat dukungan kuat dari kalangan Persia dan militer setempat yang merasa peran mereka sering diabaikan oleh pusat.

Kedua kubu ini — Arab di Baghdad dan Persia di Khurasan — menjadi dua kutub kekuatan yang saling bersaing dalam perebutan pengaruh. Maka, perselisihan dua saudara ini segera berubah menjadi konflik etno-politik yang besar.

Pemicu perang dimulai ketika Al-Amin, atas desakan penasihatnya seperti Fadhl bin Rabi’, mencabut nama Al-Ma’mun dari khutbah Jumat dan koin dinar resmi — simbol pencabutan legitimasi politik. Lebih jauh, Al-Amin bahkan menghapus namanya dari daftar pewaris takhta, melanggar wasiat Harun ar-Rasyid yang disahkan dengan sumpah dan saksi.

Keputusan itu dianggap pengkhianatan oleh Al-Ma’mun dan para pendukungnya di Khurasan. Mereka memandang Al-Amin telah melanggar perjanjian suci dan harus dilawan. Maka, pada tahun 195 H (811 M), pecahlah perang saudara antara dua putra khalifah besar — perang yang akan menghancurkan Baghdad dan mengguncang seluruh dunia Islam.

Al-Ma’mun menunjuk Tahir bin Husain, jenderal muda yang cerdas dan berani, sebagai panglima perangnya. Tahir bergerak cepat dari Merv (wilayah Khurasan) menuju barat dengan pasukan yang terlatih dan disiplin. Di sisi lain, Al-Amin mengerahkan pasukan besar dari Irak, Suriah, dan Hijaz di bawah komando jenderal Ali bin Isa.

Pertempuran besar pertama terjadi di wilayah Rayy (Iran sekarang) pada tahun 195 H. Dalam pertempuran itu, pasukan Al-Amin kalah telak. Ali bin Isa terbunuh, dan pasukan Baghdad tercerai-berai. Kemenangan besar di Rayy membuka jalan bagi pasukan Al-Ma’mun untuk terus maju ke arah barat. Tahir bin Husain kemudian menaklukkan kota demi kota dengan cepat: Hamadan, Hulwan, dan Mosul jatuh ke tangan Khurasan.

Sementara itu, di Baghdad, Al-Amin mulai kehilangan dukungan. Rakyat resah karena pajak naik untuk membiayai perang, sementara harga bahan pokok melonjak. Banyak pejabat dan ulama yang awalnya mendukungnya mulai bersikap netral atau diam-diam berpihak pada Al-Ma’mun.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Pada tahun 197 H (813 M), pasukan Al-Ma’mun mengepung Baghdad. Selama lebih dari satu tahun, kota megah itu berubah menjadi medan perang. Rumah-rumah terbakar, jembatan runtuh, dan Sungai Tigris dipenuhi bangkai dan reruntuhan. Rakyat yang dulu hidup makmur kini kelaparan. Sejarawan Al-Tabari menggambarkan penderitaan itu dengan kata-kata pilu: “Tidak ada suara azan yang terdengar tanpa disusul ratapan anak-anak yang lapar.”

Meski situasi makin memburuk, Al-Amin menolak menyerah. Ia masih berharap keajaiban dan berusaha melarikan diri ke tepi sungai dengan membawa pusaka kekhalifahan. Namun, usahanya gagal. Pasukan Tahir bin Husain berhasil menangkapnya pada malam gelap di bulan Muharram 198 H.

Dalam sebuah peristiwa tragis, Al-Amin dieksekusi pada usia 27 tahun. Kepalanya dikirim ke Khurasan sebagai tanda kemenangan, dan dengan itu, berakhirlah perang saudara Abbasiyah. Al-Ma’mun pun naik sebagai khalifah tunggal.

Meski Al-Ma’mun menang, perang ini meninggalkan luka mendalam di tubuh kekhalifahan. Baghdad, yang dulu menjadi pusat ilmu dan kemakmuran, hancur. Ribuan nyawa melayang, dan citra Abbasiyah sebagai simbol kesatuan Islam tercoreng. Kemenangan ini bukan kemenangan atas musuh, melainkan atas darah saudara sendiri.

Bagi para sejarawan, perang saudara ini menjadi titik balik Abbasiyah. Ia menandai pergeseran kekuatan dari bangsa Arab ke bangsa Persia dalam pemerintahan Abbasiyah. Sejak saat itu, pengaruh intelektual dan budaya Persia semakin kuat, terutama di masa Al-Ma’mun yang dikenal dengan kebijakan rasional dan ilmiahnya.

Namun di sisi lain, tragedi Al-Amin mengajarkan pelajaran pahit tentang bahaya ambisi politik yang menafikan kasih keluarga. Ia menjadi simbol bagaimana kekuasaan bisa menghapus persaudaraan, dan bagaimana peradaban besar bisa runtuh bukan oleh musuh luar, tapi oleh perpecahan di dalam.

Dari perang inilah dunia Islam belajar: kekuasaan tanpa persaudaraan hanya akan melahirkan kehancuran. Harun ar-Rasyid pernah membangun kejayaan dengan ilmu dan keadilan, tetapi anak-anaknya menghancurkannya karena perebutan tahta.

Dan Baghdad, yang dulu dijuluki “Kota Cahaya”, kini menjadi saksi bisu — bahwa cahaya peradaban bisa padam oleh api ambisi manusia.

Advertisement. Scroll to continue reading.
Exit mobile version