Ruang Sujud

Kehidupan Spiritual Harun ar-Rasyid: Antara Kekuasaan dan Ketundukan kepada Allah

Monitorday.com – Di balik segala kemegahan istana, kekayaan luar biasa, dan kekuasaan yang membentang dari Andalusia hingga India, Harun ar-Rasyid adalah sosok khalifah yang memiliki sisi spiritual mendalam. Ia bukan hanya penguasa besar, tetapi juga seorang hamba Allah yang rendah hati dan taat. Dalam sejarah Islam, ia dikenang sebagai pemimpin yang sanggup menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat — memerintah dengan keagungan, namun bersujud dengan kerendahan hati.

Sejak muda, Harun ar-Rasyid tumbuh dalam didikan agama yang kuat. Ibunya, Al-Khayzuran, dikenal sebagai perempuan salehah dan berilmu, yang menanamkan nilai ketakwaan pada anak-anaknya. Gurunya adalah para ulama besar, seperti Al-Kisa’i, ahli bahasa dan tafsir ternama, serta Yahya bin Khalid al-Barmaki, wazir cerdas yang juga dikenal religius. Maka tak heran, ketika ia naik takhta di usia muda, ia tidak hanya menguasai ilmu pemerintahan, tapi juga ilmu agama dan adab kepemimpinan Islam.

Ketaatan Harun ar-Rasyid kepada Allah terlihat dari kebiasaannya beribadah. Ia dikenal gemar salat malam, membaca Al-Qur’an, dan berpuasa sunnah. Sejarawan Ibn Katsir mencatat bahwa Harun ar-Rasyid selalu menunaikan haji dan jihad secara bergantian setiap tahun. Ia pernah berangkat haji dengan membawa rombongan besar, menafkahkan harta berlimpah untuk membantu jamaah miskin, membangun sumur di padang pasir, dan memperbaiki jalan menuju Makkah.

Ia juga dikenal mudah tersentuh oleh nasihat para ulama. Dalam satu kisah yang terkenal, seorang ahli zuhud bernama Fudhail bin ‘Iyadh datang menasihatinya di istana. Fudhail berkata:

> “Wahai Harun, engkau adalah pemimpin umat Muhammad ﷺ. Jika engkau berlaku adil, engkau akan selamat; tapi jika engkau zalim, engkau akan binasa.”

Mendengar itu, Harun ar-Rasyid menangis tersedu-sedu hingga janggutnya basah. Ia berkata kepada Fudhail:

> “Wahai Fudhail, nasihatmu lebih berharga bagiku daripada seluruh harta Baghdad.”

Sikapnya terhadap para ulama menunjukkan kerendahan hati yang luar biasa. Ia menghormati Imam Malik bin Anas dan menganggap kitab Al-Muwaththa’ sebagai salah satu pegangan hukum negara. Ia juga menghormati Imam Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah, dan menunjuknya sebagai Qadhi al-Qudhat (Hakim Agung), menjadikannya qadhi pertama dalam sejarah Islam yang memiliki otoritas pusat.

Selain ketaatan pribadi, Harun ar-Rasyid juga memiliki kepekaan spiritual dalam memimpin. Ia memandang kekuasaan sebagai amanah, bukan kemuliaan. Ia sering berkata,

Advertisement. Scroll to continue reading.

> “Tak ada yang paling berat bagiku kecuali ketika aku diingatkan bahwa setiap keputusan yang kuambil akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.”

Ia hidup sederhana meski istananya megah. Dalam kesehariannya, ia tidak suka makanan mewah dan lebih sering makan bersama rakyat atau pasukan di medan perang. Ia juga menolak berlebihan dalam berpakaian, dan kerap terlihat mengenakan pakaian wol kasar saat beribadah — tanda kerendahan hati di hadapan Sang Pencipta.

Kehidupan spiritual Harun ar-Rasyid juga tampak dalam kepeduliannya terhadap rakyat miskin. Ia sering berjalan menyamar di malam hari bersama pengawal pribadinya, Ja’far al-Barmaki, untuk memeriksa keadaan rakyat Baghdad. Ia mendatangi rumah-rumah gelap, membagikan makanan kepada fakir miskin, dan mendengarkan langsung keluhan mereka. Dalam satu peristiwa, ia bahkan menolong seorang ibu yang tidak memiliki makanan untuk anak-anaknya, tanpa mengungkapkan jati dirinya.

Dalam pandangan Harun, spiritualitas bukan berarti menjauh dari dunia, tetapi menjadikan dunia sebagai jalan menuju ridha Allah. Ia percaya bahwa seorang khalifah tidak boleh terasing dari rakyatnya, karena doa mereka adalah pelindung kekuasaan.

Di tengah tanggung jawab besar sebagai pemimpin, Harun ar-Rasyid tetap menjaga hubungannya dengan Allah melalui doa dan munajat. Dalam kisah yang sering diceritakan para sejarawan, suatu malam ia memandang langit Baghdad yang bertabur bintang, lalu menangis sambil berkata:

> “Ya Allah, Engkau mengetahui betapa beratnya tanggung jawab ini. Jika aku lalai, maka jangan Engkau biarkan aku hidup lama di dunia ini.”

Kehidupan spiritual Harun ar-Rasyid juga tercermin dalam kecintaannya terhadap ilmu agama. Ia tidak hanya memerintah, tapi juga belajar. Ia menghadiri majelis ilmu, mendengarkan tafsir Al-Qur’an, dan mengundang ulama ke istananya bukan untuk menghibur, tapi untuk menasihati. Ia ingin memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambilnya tidak keluar dari nilai Islam.

Namun, spiritualitasnya tidak membuatnya lemah dalam politik. Justru, dari ketundukannya kepada Allah, lahir keberanian untuk menegakkan keadilan. Ia menindak pejabat yang zalim, menegur gubernur yang korup, dan selalu mengingatkan para pemimpin daerah bahwa kekuasaan adalah ujian, bukan kebanggaan.

Keseimbangan antara kekuasaan dan ketundukan inilah yang menjadikan Harun ar-Rasyid ikon pemimpin ideal dalam sejarah Islam. Ia hidup di puncak dunia, namun hatinya tetap tertambat di bumi sujud. Ia berkuasa atas jutaan orang, tapi merasa dirinya hanyalah hamba Allah yang kecil di hadapan kebesaran-Nya.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Ketika ia wafat pada tahun 193 H (809 M) di Khurasan, banyak ulama dan rakyat yang menangisinya. Mereka tidak hanya kehilangan khalifah, tetapi seorang pemimpin saleh yang hidupnya diwarnai zikir dan tangis di malam hari.

Kehidupan Harun ar-Rasyid menjadi pelajaran bahwa spiritualitas sejati bukan berarti menjauh dari dunia, melainkan menjadi cahaya di tengah gelapnya kekuasaan. Ia membuktikan bahwa seorang pemimpin bisa memegang pedang dan mushaf sekaligus — kuat di medan perang, tapi lembut di hadapan Allah.

Exit mobile version