Ruang Sujud

Baghdad di Masa Harun ar-Rasyid: Kota Cahaya dan Pusat Peradaban Dunia

Monitorday.com – Di masa pemerintahan Harun ar-Rasyid (170–193 H / 786–809 M), Baghdad menjelma menjadi permata dunia Islam, kota yang tidak hanya kaya dan megah, tetapi juga menjadi pusat ilmu pengetahuan, seni, dan kebudayaan dunia. Di bawah kepemimpinan sang khalifah, kota ini mencapai tingkat kemajuan yang belum pernah disamai oleh kota mana pun di zamannya. Dunia menyebutnya sebagai Madinat an-Nur — Kota Cahaya.

Didirikan oleh kakeknya, Abu Ja’far al-Mansur, pada tahun 762 M, Baghdad awalnya dirancang sebagai ibu kota politik Dinasti Abbasiyah. Namun di tangan Harun ar-Rasyid, kota ini menjelma menjadi pusat peradaban global. Keamanan yang stabil, ekonomi yang makmur, dan kebijakan terbuka terhadap ilmu menjadikan Baghdad magnet bagi para ilmuwan, seniman, dan pedagang dari seluruh dunia.

Letak Baghdad yang strategis di tepi Sungai Tigris menjadikannya jantung perdagangan internasional. Jalur sutra dari Timur bertemu dengan jalur laut dari Barat. Kapal-kapal dari India, Cina, dan Afrika Timur berlabuh di pelabuhan Basrah, lalu barang-barangnya dikirim ke Baghdad untuk dijual di pasar-pasar besar seperti Suq al-Karkh dan Suq al-Mansur. Kota ini dipenuhi oleh pedagang dari Persia, Yunani, Mesir, Andalusia, bahkan Eropa.

Kehidupan ekonomi yang makmur membuat Baghdad berkembang menjadi kota dengan infrastruktur paling maju di dunia. Jalan-jalan lebar, jembatan batu yang kokoh, sistem irigasi yang efisien, dan taman-taman indah menghiasi kota. Rumah-rumah dihiasi ukiran geometris khas Islam, sementara istana khalifah berdiri megah di tengah kota, menghadap ke Sungai Tigris.

Namun, yang paling membedakan Baghdad dari kota-kota lain adalah kecintaannya terhadap ilmu dan kebudayaan. Harun ar-Rasyid mengubah istananya menjadi tempat berkumpulnya para ulama, filsuf, dokter, dan ilmuwan dari berbagai bangsa. Di bawah perlindungan dan dana kekhalifahan, berdirilah lembaga legendaris Baitul Hikmah (House of Wisdom) — pusat penerjemahan dan riset terbesar di dunia kala itu.

Baitul Hikmah bukan sekadar perpustakaan, tetapi universitas pertama dalam sejarah dunia Islam. Di sana, para sarjana menerjemahkan karya-karya ilmuwan Yunani seperti Aristoteles, Hippokrates, dan Euclid ke dalam bahasa Arab. Dari tangan para ilmuwan Muslim, ilmu itu tidak hanya diterjemahkan, tetapi dikembangkan lebih jauh dengan riset dan inovasi baru. Lahir di sana nama-nama besar seperti Al-Khawarizmi (pelopor aljabar), Jabir bin Hayyan (bapak kimia), dan Hunayn bin Ishaq (dokter dan penerjemah besar).

Suasana intelektual Baghdad pada masa itu sangat terbuka. Di masjid-masjid dan madrasah, diskusi keagamaan dan ilmiah berlangsung setiap hari. Di pasar buku (Suq al-Warraqin), karya-karya sastra, filsafat, dan tafsir dijual bebas dan dibaca oleh masyarakat dari berbagai kalangan. Kaum perempuan pun mulai mendapat kesempatan belajar dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan budaya.

Kota ini juga menjadi pusat kesenian dan sastra. Penyair-penyair seperti Abu Nuwas dan Bashar bin Burd mengisi istana dengan syair-syair indah. Musik, kaligrafi, dan seni ukir berkembang pesat. Meski Harun ar-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang religius, ia tidak menolak seni, selama tetap berada dalam batas moral Islam. Ia percaya bahwa seni dan ilmu adalah dua sisi dari keindahan ciptaan Allah.

Selain ilmu dan seni, Baghdad juga dikenal dengan sistem sosial yang maju. Pemerintah membangun rumah sakit (bimaristan), rumah singgah bagi musafir, dan tempat penampungan bagi anak yatim serta fakir miskin. Rumah sakit di Baghdad menjadi model bagi rumah sakit di dunia Barat ratusan tahun kemudian. Setiap pasien dirawat tanpa biaya, dan dokter di sana melakukan riset medis yang menjadi dasar ilmu kedokteran modern.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Keamanan dan kebersihan kota juga menjadi perhatian besar. Harun ar-Rasyid menugaskan pasukan khusus yang berpatroli di malam hari — dikenal sebagai syurtah al-layl — untuk menjaga ketertiban. Lampu-lampu minyak menerangi jalanan Baghdad, membuatnya menjadi salah satu kota pertama di dunia yang bercahaya di malam hari.

Baghdad juga dikenal dengan toleransi antarumat beragama. Kaum Yahudi, Nasrani, dan Majusi hidup berdampingan dengan umat Islam. Mereka diberi kebebasan beribadah, berdagang, bahkan bekerja di pemerintahan dan lembaga pendidikan. Banyak penerjemah di Baitul Hikmah berasal dari kalangan non-Muslim, yang dihormati karena keilmuannya. Kebijakan ini menunjukkan betapa maju dan terbukanya peradaban Islam di bawah Harun ar-Rasyid.

Para pelancong dari seluruh dunia yang datang ke Baghdad selalu kagum dengan kemegahan dan keindahannya. Sejarawan Barat seperti Will Durant menyebut Baghdad sebagai “kota yang paling berbudaya di dunia abad ke-8 dan ke-9.” Sementara penulis Arab klasik menggambarkannya sebagai tempat di mana “udara penuh ilmu, dan sungai-sungainya mengalirkan hikmah.”

Namun, kemegahan ini tidak membuat Harun ar-Rasyid lalai. Ia tetap menjaga kehidupan spiritual rakyatnya. Masjid-masjid di Baghdad selalu ramai, dan ulama dihormati sebagai cahaya moral bagi masyarakat. Dalam banyak kesempatan, Harun ar-Rasyid mengadakan majelis zikir dan kajian agama di istananya, menunjukkan bahwa ilmu dunia dan ilmu agama bisa berjalan seiring.

Baghdad di masa Harun ar-Rasyid adalah cerminan Islam pada puncak kejayaan. Sebuah peradaban yang menolak kebodohan, memuliakan ilmu, menghargai perbedaan, dan menjadikan iman sebagai fondasinya.

Ketika Harun ar-Rasyid wafat, Baghdad tetap berdiri sebagai kota termulia di dunia, tempat di mana cahaya pengetahuan, keadilan, dan spiritualitas menyatu dalam satu harmoni. Dari kota inilah dunia belajar — dari Barat hingga Timur — bahwa peradaban terbesar adalah yang menjadikan manusia lebih berilmu, lebih adil, dan lebih beriman.

Exit mobile version