Connect with us

Hi, what are you looking for?

Hikmah

Konflik dan Politik di Masa Musa al-Hadi: Bayang-Bayang Pertarungan Kekuasaan Abbasiyah

Monitorday.com – Masa pemerintahan Khalifah Musa al-Hadi (169–170 H / 785–786 M) mungkin singkat, tetapi meninggalkan jejak politik yang dalam dalam sejarah Dinasti Abbasiyah. Dalam waktu kurang dari dua tahun, kekhalifahan muda ini diwarnai intrik istana, ketegangan keluarga, dan pemberontakan politik, yang semuanya memperlihatkan betapa rumitnya dinamika kekuasaan di masa kejayaan Islam. Meski muda, al-Hadi menunjukkan karakter pemimpin tegas dan ambisius yang ingin memerintah dengan tangan besi — bahkan jika harus berhadapan dengan keluarganya sendiri.

Begitu naik tahta menggantikan ayahnya, Al-Mahdi, Musa al-Hadi segera dihadapkan pada bayang-bayang besar dua tokoh kuat: ibunya, Al-Khayzuran, dan adiknya, Harun ar-Rasyid. Keduanya memiliki pengaruh besar di istana. Al-Khayzuran, istri Al-Mahdi yang dikenal bijak dan berwibawa, selama bertahun-tahun memainkan peran penting dalam administrasi pemerintahan. Namun, Al-Hadi yang ingin menegaskan otoritasnya sebagai khalifah, tidak ingin bayang-bayang ibunya mendominasi masa kekuasaannya.

Ia memerintahkan agar Al-Khayzuran tidak lagi ikut campur dalam urusan negara dan melarang para pejabat menemui ibunya tanpa izin resmi. Bagi banyak orang di istana, perintah ini mengejutkan. Sebab, Al-Khayzuran bukan hanya ibu khalifah, tapi juga figur penting yang dihormati rakyat dan ulama karena kebijaksanaannya.

Ketegangan ini memuncak ketika Al-Hadi menolak nasihat ibunya dalam urusan politik dan penunjukan pejabat. Dalam satu riwayat, Al-Khayzuran menegur putranya karena menolak menerima keluhan rakyat secara langsung, lalu Al-Hadi menjawab dengan nada keras:

> “Wahai Ibu, kekuasaan bukan urusan perempuan! Jangan campuri apa yang telah Allah anugerahkan kepadaku.”

Perselisihan antara ibu dan anak itu meluas menjadi konflik politik yang mengguncang istana. Banyak pejabat yang sebelumnya setia kepada Al-Khayzuran mulai tersingkir, digantikan oleh orang-orang baru yang lebih loyal kepada Al-Hadi. Namun, langkah ini membuatnya kehilangan dukungan dari kelompok birokrat sipil dan sebagian ulama yang dekat dengan ibunya.

Selain konflik internal, Al-Hadi juga menghadapi pemberontakan eksternal yang menguji kekuatan pemerintahannya. Yang paling terkenal adalah pemberontakan kaum Alawiyin di Hijaz (Arab Saudi sekarang), yang dipimpin oleh Husain bin Ali, keturunan Nabi Muhammad ﷺ. Mereka merasa dikhianati karena sebelumnya Abbasiyah menjanjikan peran besar bagi keluarga Nabi, namun setelah berkuasa, janji itu tidak ditepati.

Pada tahun 169 H, Husain bin Ali mengangkat senjata di dekat Makkah dan Madinah bersama ratusan pengikutnya. Mereka berhasil menguasai Madinah dan menyiarkan seruan jihad melawan pemerintahan Abbasiyah yang dianggap zalim. Namun, pasukan al-Hadi bergerak cepat. Dalam Pertempuran Fakhkh, pemberontakan itu dipadamkan dengan keras, dan Husain terbunuh. Meski kemenangan diraih, peristiwa ini meninggalkan luka politik dalam hubungan Abbasiyah dengan para keturunan Nabi ﷺ, terutama di kalangan Syiah.

Al-Hadi juga berupaya memperkuat kontrol pusat atas provinsi-provinsi jauh seperti Khurasan, Armenia, dan Mesir. Ia mengganti sejumlah gubernur yang dianggap lemah dan memerintahkan reformasi pajak agar pendapatan negara meningkat. Namun, gaya kepemimpinannya yang keras dan cenderung militeristik membuat sebagian pejabat merasa tertekan. Ia lebih percaya kepada perwira muda dan pasukan elit dibanding pejabat tua yang berpengalaman.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Selain itu, ada ketegangan serius antara al-Hadi dan adiknya, Harun ar-Rasyid, yang saat itu menjabat sebagai gubernur penting sekaligus putra mahkota. Al-Hadi yang ambisius ingin mencabut hak waris Harun sebagai penerus khalifah dan menggantinya dengan putranya sendiri yang masih kecil, Ja’far. Keputusan ini menimbulkan ketegangan besar di dalam keluarga Abbasiyah.

Al-Khayzuran, yang masih memiliki pengaruh besar, berusaha mencegah konflik ini dan membela Harun ar-Rasyid. Namun, Al-Hadi tetap bersikeras. Ia bahkan sempat menahan Harun di Baghdad dan melarangnya tampil di depan umum. Situasi istana pun memanas, dan banyak sejarawan menyebut bahwa rencana pencabutan warisan takhta inilah yang mempercepat kejatuhan Al-Hadi.

Pada tahun 170 H (786 M), Al-Hadi wafat secara tiba-tiba di usia muda. Ada berbagai versi mengenai kematiannya. Sebagian sumber mengatakan ia meninggal karena sakit, tetapi banyak riwayat yang menyebut ia dibunuh secara diam-diam atas perintah ibunya, Al-Khayzuran, yang khawatir putranya akan menghancurkan kesatuan keluarga dan membunuh adiknya sendiri, Harun ar-Rasyid. Meski kebenaran peristiwa itu masih diperdebatkan, kisahnya menjadi simbol klasik tentang benturan antara kekuasaan, ambisi, dan kasih keluarga di tengah gemerlap istana.

Setelah kematian Al-Hadi, Harun ar-Rasyid naik tahta dan melanjutkan dinasti Abbasiyah menuju masa keemasan yang paling terkenal dalam sejarah Islam. Namun, pemerintahan Al-Hadi meninggalkan pelajaran penting: bahwa kekuasaan yang besar tanpa keseimbangan moral dan kebijaksanaan bisa menjadi pedang bermata dua.

Konflik dan politik di masa Musa al-Hadi menunjukkan bahwa stabilitas tidak hanya ditentukan oleh kekuatan, tetapi oleh kemampuan menjaga harmoni antara keluarga, ulama, dan rakyat. Ia mungkin gugur muda, namun kisahnya menjadi peringatan bagi para pemimpin setelahnya tentang rapuhnya kekuasaan di hadapan ego dan intrik manusia.

Robby Karman
Ditulis oleh

Penulis, Peminat Kajian Sosial dan Keagamaan.

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel terkait

Hikmah

Era digital membawa kemajuan teknologi yang luar biasa, namun juga membawa tantangan baru bagi umat Islam dalam menjaga dan meningkatkan ketakwaan. Di tengah arus...

Kajian

Metode tafsir maudhu’i, juga dikenal sebagai metode tematik, adalah cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki maksud yang sama, membahas topik yang sama, dan menyusunnya...

Hikmah

Surat Al-Muzammil adalah salah satu surat dalam Al-Qur’an yang memiliki keutamaan dan hikmah yang mendalam. Dengan judul yang berarti “Orang yang Berselimut,” surat ini...

Hikmah

Al-Qur’an, sebagai kitab suci umat Islam, tidak hanya relevan dalam konteks sejarahnya, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari yang dinamis dan beragam zaman modern. Ajaran-ajaran...