Connect with us

Hi, what are you looking for?

Hikmah

Hubungan Musa al-Hadi dengan Harun ar-Rasyid: Persaudaraan dan Perebutan Tahta

Monitorday.com – Dalam sejarah Dinasti Abbasiyah, kisah hubungan antara Musa al-Hadi dan Harun ar-Rasyid menjadi salah satu bab paling menarik — kisah tentang dua bersaudara yang sama-sama dilahirkan untuk memimpin, namun akhirnya terjebak dalam pertarungan politik yang pahit. Di antara cinta keluarga dan ambisi kekuasaan, keduanya menunjukkan dua sisi berbeda dari kepemimpinan Abbasiyah: kekuatan dan kebijaksanaan.

Musa al-Hadi dan Harun ar-Rasyid adalah putra dari Khalifah Al-Mahdi dan ibunya yang terkenal, Al-Khayzuran, seorang perempuan cerdas, berpengaruh, dan berwawasan luas. Sejak kecil, keduanya dididik dengan keras oleh ayah mereka untuk memahami tanggung jawab kekuasaan. Al-Hadi sebagai putra sulung dipersiapkan menjadi penerus pertama, sementara Harun sebagai adik dididik untuk menjadi tangan kanan kekhalifahan.

Namun, begitu Al-Mahdi wafat pada tahun 169 H (785 M) dan Al-Hadi naik tahta, hubungan dua bersaudara itu mulai berubah. Al-Hadi yang baru berusia 24 tahun merasa dirinya cukup kuat untuk memimpin tanpa bayangan siapa pun — baik ibunya, Al-Khayzuran, maupun adiknya, Harun. Ia ingin membuktikan bahwa kekuasaan sepenuhnya berada di tangannya, bukan diwariskan secara otomatis.

Masalah mulai muncul ketika Al-Hadi ingin mencabut status Harun sebagai putra mahkota yang telah ditetapkan ayah mereka sebelumnya. Dalam pandangan Al-Hadi, Harun masih muda dan belum berpengalaman dalam urusan politik. Ia juga khawatir para pendukung Harun di kalangan militer dan birokrat akan mengancam kekuasaannya. Maka, ia berniat menggantikan posisi pewaris tahta itu dengan anaknya sendiri, Ja’far bin Musa al-Hadi, yang masih kecil.

Harun ar-Rasyid, meskipun lebih muda, dikenal cerdas, tenang, dan berwibawa. Ia tidak secara terbuka melawan, namun langkah-langkah politiknya membuat Al-Hadi curiga. Banyak pejabat dan ulama yang lebih menyukai Harun karena kelembutan dan kebijaksanaannya, berbeda dengan sikap keras Al-Hadi yang terkenal temperamental. Popularitas Harun yang meningkat inilah yang membuat Al-Hadi semakin gelisah.

Dalam beberapa riwayat, Al-Hadi bahkan memerintahkan agar Harun diawasi ketat dan membatasi geraknya di Baghdad. Ia menolak nasihat ibunya, Al-Khayzuran, yang berulang kali meminta agar kedua putranya berdamai. Namun, Al-Hadi bersikeras bahwa kekuasaan tidak bisa dibagi. Dalam sebuah dialog terkenal yang dicatat oleh sejarawan al-Tabari, ia berkata:

> “Tidak boleh ada dua singa di satu gunung, dan tidak boleh ada dua khalifah di satu dunia.”

Sementara itu, Al-Khayzuran berusaha keras menjaga hubungan antara kedua putranya. Ia mencintai keduanya, tetapi lebih mempercayai Harun karena wataknya yang lebih lembut dan rasional. Ia khawatir, kerasnya Al-Hadi akan membawa bencana bagi keluarga dan negara. Maka, diam-diam ia membantu menjaga keselamatan Harun dan menggalang dukungan politik agar haknya sebagai putra mahkota tidak dicabut.

Ketegangan pun semakin meningkat. Para penasihat istana terbagi dua kubu: sebagian mendukung Al-Hadi sebagai pemimpin kuat yang berani, sementara sebagian lain memihak Harun yang dinilai lebih bijak dan berpandangan luas. Situasi ini menciptakan atmosfer kecurigaan dan intrik politik di dalam istana Baghdad.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Puncak konflik terjadi ketika Al-Hadi secara terbuka menyatakan niatnya menggantikan Harun dengan anaknya sendiri. Ia mengumpulkan pejabat dan meminta mereka bersumpah setia kepada Ja’far. Namun, sebagian besar menolak, dengan alasan baiat kepada Harun sudah disahkan oleh Al-Mahdi dan tidak bisa dibatalkan. Penolakan ini membuat Al-Hadi murka, dan ia semakin curiga bahwa ibunya dan Harun berada di balik perlawanan itu.

Beberapa sumber sejarah bahkan menyebut bahwa Al-Hadi merencanakan untuk menyingkirkan Harun secara diam-diam. Namun sebelum rencana itu terjadi, pada tahun 170 H (786 M), Al-Hadi meninggal mendadak dalam usia muda. Sebagian mengatakan ia meninggal karena sakit, namun riwayat lain menuduh Al-Khayzuran terlibat dalam kematiannya, karena takut anak sulungnya akan membunuh Harun dan menghancurkan stabilitas dinasti.

Kematian Al-Hadi mengakhiri konflik berdarah itu, dan Harun ar-Rasyid naik tahta menggantikannya. Namun, peristiwa ini meninggalkan luka mendalam dalam sejarah Abbasiyah. Harun sendiri disebut sangat berduka atas kematian kakaknya, meski hubungan mereka tegang di akhir hayat. Dalam satu kisah, ia berkata kepada penasihatnya:

> “Andai kakakku masih hidup, aku lebih memilih menjadi prajuritnya daripada menjadi khalifah.”

Kisah dua bersaudara ini menjadi refleksi klasik tentang dilema kekuasaan dan keluarga. Mereka sama-sama anak dari dinasti besar, sama-sama dididik untuk memimpin, namun terpisah oleh ambisi dan tekanan politik istana. Al-Hadi mewakili kekuatan dan keberanian, sementara Harun mewakili kebijaksanaan dan visi peradaban.

Meski berakhir tragis, hubungan keduanya memberi pelajaran penting: bahwa kekuasaan tanpa kasih akan memecah belah, dan kasih tanpa kebijaksanaan bisa menghancurkan tatanan. Dari konflik inilah, lahir generasi kepemimpinan baru di bawah Harun ar-Rasyid yang belajar dari kesalahan masa lalu — memadukan kekuatan kakaknya dengan kelembutannya sendiri.

Kisah Musa al-Hadi dan Harun ar-Rasyid bukan sekadar pertarungan tahta, tapi drama manusia tentang cinta keluarga, tanggung jawab, dan ambisi. Ia menjadi cermin bahwa di balik kemegahan istana Abbasiyah, tersimpan perjuangan batin antara darah dan kekuasaan — antara menjadi saudara dan menjadi penguasa.

Robby Karman
Ditulis oleh

Penulis, Peminat Kajian Sosial dan Keagamaan.

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel terkait

Hikmah

Era digital membawa kemajuan teknologi yang luar biasa, namun juga membawa tantangan baru bagi umat Islam dalam menjaga dan meningkatkan ketakwaan. Di tengah arus...

Kajian

Metode tafsir maudhu’i, juga dikenal sebagai metode tematik, adalah cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki maksud yang sama, membahas topik yang sama, dan menyusunnya...

Hikmah

Surat Al-Muzammil adalah salah satu surat dalam Al-Qur’an yang memiliki keutamaan dan hikmah yang mendalam. Dengan judul yang berarti “Orang yang Berselimut,” surat ini...

Hikmah

Al-Qur’an, sebagai kitab suci umat Islam, tidak hanya relevan dalam konteks sejarahnya, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari yang dinamis dan beragam zaman modern. Ajaran-ajaran...