Connect with us

Hi, what are you looking for?

Hikmah

Kebijakan Keagamaan Al-Mahdi: Memperkuat Syariat dan Melawan Pemikiran Menyimpang

Khalifah Al-Mahdi bin Abu Ja’far al-Mansur (memerintah 158–169 H / 775–785 M) dikenal bukan hanya sebagai penguasa yang dermawan dan makmur secara ekonomi, tetapi juga sebagai pemimpin yang menjadikan agama sebagai pilar utama pemerintahannya. Di bawah kepemimpinannya, Dinasti Abbasiyah tidak hanya mengalami kemajuan material, tetapi juga penguatan spiritual. Ia menegakkan syariat Islam dengan kebijakan yang tegas dan membentengi umat dari pemikiran menyimpang yang mengancam aqidah.

Ketika naik tahta, Al-Mahdi mewarisi dunia Islam yang tengah berkembang pesat dalam bidang ilmu dan pemikiran. Baghdad mulai dipenuhi oleh para cendekiawan dari berbagai latar belakang — Arab, Persia, bahkan non-Muslim. Namun, keterbukaan intelektual ini juga membawa masuk ide-ide asing, seperti filsafat Yunani dan aliran Zindik (atheisme dan dualisme Persia kuno), yang dianggap berpotensi melemahkan aqidah umat. Al-Mahdi menyadari bahwa kemajuan ilmu tidak boleh mengorbankan kemurnian iman.

Langkah pertama Al-Mahdi adalah menegakkan otoritas agama dan syariat dalam sistem pemerintahan. Ia menunjuk para ulama besar sebagai penasihat istana dan menempatkan qadhi (hakim Islam) di setiap provinsi. Para qadhi ini tidak hanya menjalankan hukum, tetapi juga bertugas memastikan bahwa kebijakan negara sejalan dengan prinsip Islam. Ia juga memperluas yurisdiksi hisbah — lembaga pengawas moral publik — yang memantau keadilan pasar, perilaku sosial, dan pelaksanaan ibadah di masyarakat.

Salah satu kebijakan paling terkenal dari Al-Mahdi adalah perang terhadap kaum Zindik. Istilah “Zindik” pada masa itu mengacu pada kelompok yang berpura-pura Islam namun menyebarkan paham-paham sesat seperti ateisme, dualisme, dan kebebasan moral ekstrem. Mereka sering menulis buku dan puisi yang melecehkan agama, mempersoalkan wahyu, bahkan mencemooh syariat.

Al-Mahdi melihat hal ini bukan semata ancaman politik, tetapi ancaman ideologis terhadap akidah umat. Ia membentuk tim khusus dari para ulama, ahli hadis, dan penyelidik untuk mengidentifikasi dan memeriksa ajaran-ajaran yang menyimpang. Lembaga ini bisa dianggap sebagai cikal bakal Majlis Tahqiq (Dewan Kajian Aqidah) yang berfungsi menjaga kemurnian Islam. Mereka mengumpulkan bukti, memeriksa tulisan-tulisan, dan menasihati orang-orang yang terlibat. Bila ada yang menolak bertaubat, barulah dijatuhi hukuman berdasarkan hukum Islam.

Namun, Al-Mahdi bukan penguasa yang kejam. Ia lebih memilih pendekatan dakwah dan pendidikan ketimbang kekerasan. Dalam beberapa kasus, ia memerintahkan para ulama untuk berdialog langsung dengan kaum Zindik agar mereka kembali ke jalan Islam. Ia percaya bahwa kesesatan sering lahir dari kebodohan, bukan kebencian. Karena itu, ia mendorong pengajaran Al-Qur’an, hadis, dan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah di masjid-masjid besar Baghdad dan Basrah.

Selain itu, Al-Mahdi juga memperkuat institusi keilmuan Islam. Ia memperluas dukungan bagi para ahli hadis dan fiqih, terutama di Kufah, Basrah, dan Madinah. Di masa inilah, Imam Malik bin Anas mendapatkan perhatian besar dari istana karena karyanya Al-Muwaththa’ yang sistematis dan kuat secara sanad. Al-Mahdi menghormati ulama, mendengar nasihat mereka, dan menjadikan ilmu agama sebagai dasar pengambilan keputusan negara.

Dalam bidang sosial, ia menjalankan kebijakan moral publik yang menegakkan nilai-nilai Islam. Ia melarang minuman keras, perjudian, dan pertunjukan hiburan yang melampaui batas. Namun, ia juga mendorong seni dan sastra yang bernilai moral dan religius. Penyair, kaligrafer, dan penulis diberi ruang berekspresi selama karya mereka tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Baghdad pun berkembang menjadi kota yang memadukan kemegahan budaya dengan kesalehan masyarakat.

Kebijakan Al-Mahdi juga tampak dalam perhatiannya terhadap dakwah dan pendidikan. Ia memerintahkan pembangunan masjid di wilayah-wilayah perbatasan dan mengirim dai ke daerah-daerah yang baru masuk Islam. Para ulama dan qadhi dikirim ke Asia Tengah, Afrika Utara, dan perbatasan Bizantium untuk mengajarkan Islam dan memperkuat persatuan umat.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Al-Mahdi juga dikenal karena menegakkan keadilan dalam hukum. Ia memerintahkan agar pengadilan Islam terbuka bagi siapa pun, tanpa memandang status sosial. Bahkan rakyat miskin bisa menggugat pejabat tinggi tanpa takut dihukum. Dalam salah satu kisah terkenal, seorang petani datang ke Baghdad untuk menuntut gubernur karena kehilangan tanahnya. Setelah diselidiki, Al-Mahdi memerintahkan pengembalian tanah itu dan memecat gubernur yang zalim.

Semua kebijakan itu menunjukkan bahwa Al-Mahdi memahami peran agama bukan hanya di masjid, tetapi juga di pemerintahan dan masyarakat. Ia tidak membiarkan agama menjadi simbol kosong, tetapi menjadikannya kekuatan moral yang menuntun seluruh aspek kehidupan umat.

Dengan langkah-langkah tersebut, Al-Mahdi berhasil menciptakan keseimbangan antara kemajuan intelektual dan kemurnian aqidah. Ia membuka ruang bagi ilmu dan dialog, namun tetap menjaga batas-batas iman. Ia membuktikan bahwa kemajuan dan ketaatan pada syariat tidak bertentangan, melainkan saling menguatkan.

Ketika ia wafat pada tahun 169 H (785 M), dunia Islam mengenangnya sebagai khalifah yang “menghidupkan agama di tengah kemakmuran.” Ia mewariskan warisan spiritual dan intelektual yang akan diteruskan oleh putranya, Harun ar-Rasyid — khalifah legendaris yang membawa Abbasiyah ke puncak kemuliaan dunia.

Melalui kebijakan keagamaannya, Al-Mahdi menunjukkan bahwa agama adalah pelita peradaban. Ia menegaskan bahwa kekuatan sejati sebuah kekhalifahan bukan pada kekayaan dan pasukan, tetapi pada aqidah yang kokoh, ilmu yang benar, dan keadilan yang tegak.

Robby Karman
Ditulis oleh

Penulis, Peminat Kajian Sosial dan Keagamaan.

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel terkait

Hikmah

Era digital membawa kemajuan teknologi yang luar biasa, namun juga membawa tantangan baru bagi umat Islam dalam menjaga dan meningkatkan ketakwaan. Di tengah arus...

Kajian

Metode tafsir maudhu’i, juga dikenal sebagai metode tematik, adalah cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki maksud yang sama, membahas topik yang sama, dan menyusunnya...

Hikmah

Surat Al-Muzammil adalah salah satu surat dalam Al-Qur’an yang memiliki keutamaan dan hikmah yang mendalam. Dengan judul yang berarti “Orang yang Berselimut,” surat ini...

Hikmah

Al-Qur’an, sebagai kitab suci umat Islam, tidak hanya relevan dalam konteks sejarahnya, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari yang dinamis dan beragam zaman modern. Ajaran-ajaran...