Ruang Sujud

Ekonomi dan Sosial di Masa Al-Mahdi: Era Kemakmuran dan Kehidupan Rakyat yang Sejahtera

Masa pemerintahan Khalifah Al-Mahdi bin Abu Ja’far al-Mansur (158–169 H / 775–785 M) dikenal sebagai zaman keemasan kemakmuran sosial dan ekonomi dalam sejarah awal Dinasti Abbasiyah. Setelah fondasi pemerintahan kokoh dibangun oleh ayahnya, Abu Ja’far al-Mansur, Al-Mahdi tampil sebagai pemimpin yang memperluas kemakmuran itu ke seluruh lapisan masyarakat. Di bawah kepemimpinannya, kekhalifahan bukan hanya kuat secara politik dan militer, tetapi juga sejahtera dalam kehidupan rakyatnya — dari petani di desa hingga pedagang di pasar Baghdad.

Salah satu kunci keberhasilan Al-Mahdi adalah manajemen ekonomi yang efisien dan adil. Ia mewarisi Baitul Mal (kas negara) yang penuh dari ayahnya, namun tidak menimbunnya. Ia menggunakan kekayaan negara untuk memperkuat sektor pertanian, perdagangan, dan infrastruktur publik. Ia menyadari bahwa kekuatan negara bergantung pada kesejahteraan rakyat, bukan sekadar kejayaan istana.

Dalam sektor pertanian, Al-Mahdi melakukan reformasi besar-besaran. Ia memperbaiki sistem irigasi di wilayah Irak, Khurasan, dan Mesir yang menjadi lumbung pangan kekhalifahan. Bendungan dan kanal dibangun untuk mengairi lahan yang sebelumnya tandus. Ia juga menurunkan pajak tanah di wilayah yang terkena bencana atau kekeringan, agar para petani tidak terbebani dan tetap bisa menanam. Kebijakan ini terbukti sukses: hasil panen meningkat tajam, harga bahan pangan stabil, dan kehidupan masyarakat desa membaik secara signifikan.

Sementara itu, sektor perdagangan mengalami pertumbuhan luar biasa. Baghdad — yang telah menjadi pusat pemerintahan sejak masa al-Mansur — berubah menjadi pusat ekonomi dunia. Jalur darat melalui Khurasan dan jalur laut melalui Basrah dipenuhi kafilah dagang dari India, Tiongkok, Afrika, dan Andalusia. Barang-barang seperti sutra, rempah-rempah, kertas, permata, dan kain halus memenuhi pasar-pasar Baghdad.

Pemerintahan Al-Mahdi menjamin keamanan perdagangan dengan melindungi jalur karavan dan pelabuhan-pelabuhan besar. Ia membangun pos pengawasan di sepanjang rute perdagangan dan menugaskan pasukan khusus untuk mencegah perampokan. Ia juga memperkenalkan sistem standar ukuran dan timbangan untuk mencegah kecurangan di pasar. Akibatnya, Baghdad menjadi pusat ekonomi yang dipercaya oleh pedagang dari berbagai bangsa dan agama.

Kebijakan fiskal Al-Mahdi juga sangat populer di kalangan rakyat. Ia tidak menaikkan pajak, bahkan sering memberi penghapusan utang bagi petani dan pedagang kecil. Ia juga memperbaiki sistem zakat dan distribusi sosial, memastikan bahwa harta kekhalifahan tidak menumpuk di kalangan elit. Dana zakat, kharaj, dan jizyah digunakan untuk membangun rumah sakit, sekolah, jembatan, serta program bantuan bagi fakir miskin dan anak yatim.

Kemakmuran ekonomi itu berdampak langsung pada kehidupan sosial masyarakat. Baghdad dan kota-kota besar lainnya seperti Basrah, Kufah, dan Nishapur menjadi pusat aktivitas sosial dan budaya. Masyarakat hidup dalam suasana aman, tenteram, dan penuh semangat keilmuan. Sekolah-sekolah (kuttab) bermunculan di berbagai masjid, mengajarkan baca tulis dan Al-Qur’an kepada anak-anak. Perempuan mendapat akses lebih besar dalam pendidikan dan perdagangan, terutama di lingkungan urban.

Salah satu aspek yang menonjol di masa Al-Mahdi adalah perhatian besar terhadap kesejahteraan publik. Ia membangun rumah sakit (bimaristan) yang menyediakan pelayanan medis gratis bagi rakyat. Ia juga memperbaiki jalan-jalan antarwilayah dan membangun tempat peristirahatan bagi musafir. Di Baghdad, ia mendirikan dapur umum yang membagikan makanan gratis setiap Jumat bagi fakir miskin.

Al-Mahdi juga dikenal sebagai pelindung seni dan sastra. Ia mendorong perkembangan budaya Islam tanpa meninggalkan nilai moral. Penyair-penyair terkenal seperti Bashar bin Burd dan Abu Nuwas mulai muncul di masa ini. Namun, Al-Mahdi tetap tegas: karya seni boleh berkembang, selama tidak bertentangan dengan adab Islam. Maka, di istana Abbasiyah, lahirlah tradisi baru — seni yang berpadu dengan iman, kemewahan yang bersanding dengan kesederhanaan.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Kebijakan sosial Al-Mahdi juga menyentuh aspek keadilan hukum. Ia memperkuat posisi para qadhi dan memastikan bahwa setiap rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim, mendapatkan perlakuan adil di pengadilan. Ia menegakkan hukum tanpa pandang bulu, bahkan terhadap pejabat tinggi. Dalam satu peristiwa, ia menghukum seorang gubernur yang korupsi dana publik, dengan berkata, “Siapa pun yang mengkhianati amanah rakyat, berarti telah mengkhianati Allah.”

Hubungan antara rakyat dan khalifah di masa Al-Mahdi sangat dekat. Ia sering keluar istana menyamar untuk melihat kehidupan rakyat secara langsung. Ia berjalan di pasar Baghdad, berbicara dengan pedagang kecil, dan mendengarkan keluhan mereka tanpa pengawal. Dari perjalanan-perjalanan malam inilah ia menemukan banyak kebijakan sosial yang lahir dari realitas, bukan laporan pejabat.

Masa Al-Mahdi juga menandai puncak keseimbangan antara kemakmuran dunia dan spiritualitas. Rakyat hidup dalam kelimpahan, tetapi masjid-masjid tetap ramai. Ilmu dan agama tumbuh bersama. Pemerintah mendorong perdagangan, tetapi juga menegakkan moral ekonomi Islam: kejujuran, larangan riba, dan keadilan dalam transaksi.

Ketika ia wafat pada tahun 169 H (785 M), dunia Islam berada dalam keadaan terbaiknya. Tidak ada pemberontakan besar, ekonomi kuat, dan rakyat hidup damai. Para sejarawan menyebut masa Al-Mahdi sebagai “zaman kemakmuran sejati Abbasiyah,” masa di mana rakyat tidak hanya kaya, tetapi juga beriman dan berilmu.

Warisan sosial dan ekonomi Al-Mahdi menjadi fondasi bagi generasi berikutnya, terutama bagi putranya, Harun ar-Rasyid, yang akan membawa Abbasiyah ke puncak kejayaan global. Dari tangannya, dunia Islam belajar bahwa kekuatan sejati sebuah negara terletak pada rakyat yang makmur dan pemimpin yang berakhlak.

Exit mobile version