Monitorday.com – Revolusi Abbasiyah adalah salah satu peristiwa paling dramatis dan menentukan dalam sejarah Islam. Gerakan ini bukan sekadar perebutan kekuasaan, melainkan transformasi besar dalam struktur politik, sosial, dan ideologis dunia Islam. Dari timur jauh Khurasan hingga kemenangan di tepi Sungai Zab pada tahun 132 H (750 M), revolusi ini menandai berakhirnya era Bani Umayyah dan lahirnya Dinasti Abbasiyah — kekhalifahan yang membawa Islam menuju masa keemasan peradaban.
Akar gerakan ini muncul dari ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan Umayyah. Setelah hampir satu abad berkuasa, Dinasti Umayyah dianggap terlalu berpusat pada elit Arab dan mengabaikan kaum mawali — yaitu Muslim non-Arab dari Persia, Khurasan, dan wilayah timur lainnya. Meskipun mereka sudah memeluk Islam, posisi mereka dalam pemerintahan dan militer sering dianggap lebih rendah dibanding bangsa Arab. Ketimpangan sosial ini menimbulkan rasa kecewa yang dalam dan menjadi lahan subur bagi munculnya gerakan perlawanan.
Selain faktor sosial, terdapat pula dimensi religius dan ideologis dalam revolusi ini. Kaum Syiah yang mendukung keluarga Nabi ﷺ merasa terpinggirkan oleh pemerintahan Umayyah. Di saat yang sama, keturunan Al-Abbas bin Abdul Muthalib — paman Rasulullah — memposisikan diri sebagai jembatan antara kaum Syiah dan umat Islam secara umum. Mereka menegaskan bahwa keluarga Abbas, sebagai bagian dari Ahlul Bait, memiliki hak moral dan spiritual untuk memimpin umat. Klaim inilah yang menjadi dasar bagi gerakan yang kelak dikenal sebagai Gerakan Abbasiyah.
Pusat pergerakan ini muncul di wilayah Khurasan (Iran Timur dan Asia Tengah modern), daerah yang jauh dari pusat kekuasaan Damaskus dan dihuni oleh banyak Muslim non-Arab. Di sinilah tokoh penting bernama Abu Muslim al-Khurasani memainkan peran besar. Ia adalah organisator ulung dan orator yang mampu menyatukan berbagai kelompok dengan janji akan pemerintahan yang adil dan egaliter. Abu Muslim mengibarkan panji hitam — simbol perjuangan Abbasiyah — dan mulai merekrut pasukan besar dari rakyat Khurasan.
Pada tahun 129 H (747 M), revolusi Abbasiyah meletus secara terbuka. Dalam waktu singkat, pasukan Abu Muslim berhasil menaklukkan kota Merv dan menjadikannya markas besar gerakan. Satu per satu wilayah timur jatuh ke tangan mereka: Balkh, Nishapur, dan Herat. Dari sana, mereka bergerak ke barat menembus Irak. Kemenangan demi kemenangan membuat semangat rakyat meledak. Sementara itu, pemerintahan Umayyah di Damaskus sedang berada dalam kondisi kacau karena konflik internal antar anggota keluarga kerajaan.
Gerakan ini kemudian memproklamasikan Abu al-Abbas Abdullah bin Muhammad sebagai khalifah di kota Kufah pada tahun 132 H. Ia dikenal dengan gelar as-Saffah, yang berarti “penumpah darah,” karena tekadnya untuk membersihkan dunia Islam dari sisa-sisa kezaliman Umayyah. Dengan pengangkatan ini, revolusi Abbasiyah berubah dari sekadar pemberontakan menjadi pemerintahan baru yang sah di mata rakyat.
Namun puncak dari revolusi ini terjadi di Pertempuran Zab Besar, antara pasukan Umayyah yang dipimpin oleh Khalifah Marwan bin Muhammad dan pasukan Abbasiyah di bawah komando Abdullah bin Ali. Pertempuran sengit itu berlangsung di tepi Sungai Zab, wilayah antara Mosul dan Tikrit (Irak Utara). Pasukan Umayyah yang berjumlah besar tidak mampu menahan semangat juang pasukan Abbasiyah yang lebih terorganisir dan didorong oleh cita-cita ideologis.
Kemenangan di Zab menjadi penentu nasib kekhalifahan Islam. Setelah kekalahan itu, Marwan melarikan diri ke Mesir, tetapi akhirnya terbunuh di Busir. Kekuasaan Umayyah pun berakhir secara resmi, dan dunia Islam memasuki babak baru di bawah bendera hitam Abbasiyah.
Revolusi ini bukan hanya tentang pergantian dinasti, tetapi juga pergeseran orientasi peradaban. Jika Umayyah berpusat di barat (Damaskus dan dunia Arab), Abbasiyah memindahkan fokus ke timur — ke wilayah Persia dan Irak, yang lebih kaya budaya dan ilmu. Dalam sistem pemerintahan baru ini, kaum non-Arab mulai mendapatkan tempat terhormat. Ilmuwan, cendekiawan, dan pejabat dari berbagai etnis bergabung membangun peradaban Islam yang inklusif.
Revolusi Abbasiyah juga membawa perubahan besar dalam konsep kekhalifahan. Jika Umayyah menekankan kekuatan politik dan militer, Abbasiyah memperkuat aspek intelektual dan spiritual. Khalifah tidak hanya menjadi penguasa dunia, tetapi juga pelindung ilmu dan agama. Kelak, di bawah penerus Abu al-Abbas seperti al-Mansur, Harun ar-Rasyid, dan al-Ma’mun, dunia Islam akan mencapai masa keemasan dengan berdirinya kota Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia.
Namun, keberhasilan revolusi ini juga menyimpan pelajaran pahit: setiap perubahan besar menuntut pengorbanan besar. Ribuan nyawa melayang dalam perang, dan banyak keluarga Umayyah dibunuh demi menghapus potensi perlawanan. Akan tetapi, di balik darah dan air mata itu, revolusi Abbasiyah berhasil meletakkan fondasi baru bagi umat Islam — fondasi ilmu, budaya, dan pemerintahan yang adil.
Dari padang Khurasan hingga tepian Sungai Zab, revolusi ini membuktikan bahwa sejarah Islam tidak statis, melainkan terus bergerak mencari keseimbangan antara kekuatan dan keadilan. Dan di tangan Abu al-Abbas as-Saffah, perubahan itu bukan sekadar pergantian kekuasaan, tetapi awal dari kebangkitan peradaban Islam yang akan menerangi dunia selama berabad-abad