Ruang Sujud

Kebijakan Awal Abu al-Abbas as-Saffah: Konsolidasi Kekuasaan dan Balas Dendam Politik

Setelah kemenangan besar atas Dinasti Umayyah pada tahun 132 H (750 M), Abu al-Abbas as-Saffah menghadapi tugas yang tak kalah berat dari perang: menegakkan stabilitas pemerintahan baru. Dinasti Abbasiyah lahir dari revolusi yang berdarah, dan di tengah euforia kemenangan, khalifah muda ini harus memastikan bahwa kekhalifahan tidak terjebak dalam kekacauan pasca-revolusi. Untuk itu, Abu al-Abbas menempuh dua langkah besar yang menjadi ciri khas pemerintahannya — konsolidasi kekuasaan dan pembersihan politik terhadap lawan-lawannya.

Abu al-Abbas sadar bahwa kemenangan di medan perang belum berarti kekuasaan yang stabil. Wilayah Islam saat itu sangat luas — dari Spanyol di barat hingga India di timur — dan tidak semua wilayah menerima perubahan pemerintahan dengan mudah. Banyak gubernur, bangsawan, dan jenderal yang masih setia kepada keluarga Umayyah. Bahkan sebagian rakyat belum memahami siapa sebenarnya Bani Abbas dan mengapa mereka layak memimpin.

Langkah pertama yang diambil Abu al-Abbas adalah memperkuat legitimasi politiknya. Ia menegaskan bahwa Abbasiyah adalah penerus sah kekhalifahan Islam karena berasal dari Ahlul Bait, keluarga Nabi ﷺ melalui jalur al-Abbas bin Abdul Muthalib. Ia menampilkan diri bukan sekadar pengganti Umayyah, tetapi sebagai pelanjut misi kenabian untuk menegakkan keadilan dan kesetaraan umat. Dalam khutbah-khutbahnya di Kufah, ia menyerukan bahwa masa kezaliman telah berakhir, dan kini Allah menegakkan “negara orang-orang saleh.”

Untuk mengamankan wilayah kekuasaannya, Abu al-Abbas menempatkan keluarga dan loyalis terdekatnya di posisi strategis. Pamannya, Abu Ja’far al-Mansur, diangkat sebagai tangan kanan sekaligus calon penerusnya. Tokoh-tokoh Khurasan seperti Abu Muslim al-Khurasani diberi kewenangan besar di wilayah timur karena jasanya dalam menumbangkan Umayyah. Dengan cara ini, kekuasaan Abbasiyah dibangun di atas jaringan kepercayaan dan loyalitas yang kuat — meskipun di kemudian hari hal ini menimbulkan ketegangan politik antara pusat (Baghdad) dan daerah timur (Khurasan).

Langkah berikutnya adalah yang paling kontroversial: pembersihan terhadap sisa-sisa Dinasti Umayyah. Abu al-Abbas mendapat julukan as-Saffah — “penumpah darah” — karena kebijakannya yang keras terhadap lawan politik. Dalam pandangannya, keberlangsungan kekuasaan baru hanya mungkin jika ancaman dari keluarga Umayyah dihapuskan sepenuhnya. Ia tidak ingin revolusi yang baru lahir hancur karena pemberontakan.

Dalam sebuah peristiwa yang terkenal di sejarah Islam, Abu al-Abbas mengundang para bangsawan Umayyah ke sebuah jamuan besar di Kufah dengan dalih ingin berdamai. Namun, di tengah acara, pasukannya mengepung ruangan dan membunuh mereka semua. Peristiwa ini dikenal sebagai “Pesta Darah Kufah.” Walaupun kejam, tindakan ini efektif mengakhiri kemungkinan munculnya klaim tandingan atas kekhalifahan. Hanya satu cabang keluarga Umayyah yang berhasil lolos — yaitu Abdurrahman ad-Dakhil, yang kemudian melarikan diri ke Spanyol dan mendirikan Kekhalifahan Umayyah di Andalusia.

Selain tindakan militer, Abu al-Abbas juga melakukan reformasi administratif untuk membedakan pemerintahannya dari Umayyah. Ia memindahkan pusat pemerintahan dari Damaskus ke Kufah, kemudian ke al-Hasyimiyyah, dekat Baghdad. Perpindahan ini bukan hanya strategis secara geografis, tetapi juga simbolis: kekhalifahan kini berorientasi ke timur, lebih dekat dengan Persia dan Khurasan — dua wilayah yang menjadi basis utama revolusi Abbasiyah.

Dalam bidang ekonomi, Abu al-Abbas memperkuat Baitul Mal (kas negara) dan menertibkan sistem pajak yang sebelumnya banyak disalahgunakan. Ia menghapus pajak tambahan bagi kaum non-Arab (mawali), langkah penting yang menghapus diskriminasi rasial yang sempat mencemari masa Umayyah. Dengan demikian, ia mengembalikan semangat universal Islam: bahwa setiap Muslim memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan negara.

Sementara dalam urusan sosial, Abu al-Abbas berusaha memperkuat citra moral pemerintahannya. Ia mendukung dakwah, pembangunan masjid, dan kegiatan keilmuan di Kufah dan Basrah. Ia juga menghormati para ulama dan ahli fikih, meskipun pemerintahannya masih sibuk dengan urusan stabilitas politik. Dukungan terhadap ilmu dan agama inilah yang kelak berkembang pesat di masa penerusnya, al-Mansur dan Harun ar-Rasyid.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Namun, masa pemerintahannya yang singkat — hanya empat tahun — membuat banyak rencananya belum sepenuhnya terwujud. Abu al-Abbas wafat pada tahun 136 H (754 M) di usia muda, meninggalkan kerajaan yang baru berdiri namun sudah kokoh. Sebelum wafat, ia menunjuk pamannya, Abu Ja’far al-Mansur, sebagai penggantinya. Di tangan al-Mansur, kekhalifahan Abbasiyah akan berkembang menjadi kekuatan politik dan intelektual yang mengubah wajah dunia Islam selamanya.

Meskipun dikenang dengan julukan yang keras, Abu al-Abbas sejatinya adalah arsitek politik yang berhasil menegakkan pondasi kekuasaan Abbasiyah. Ia menunjukkan bahwa pemerintahan yang lahir dari revolusi memerlukan ketegasan, visi, dan keberanian mengambil keputusan sulit. Darah dan air mata yang mengiringi masa awal kekuasaannya menjadi harga yang dibayar untuk stabilitas yang kemudian membawa Islam memasuki masa keemasan.

Exit mobile version