Monitorday.com – Kemenangan besar di tepi Sungai Zab pada tahun 132 H (750 M) menandai berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah dan lahirnya babak baru dalam sejarah Islam. Dari revolusi yang mengguncang timur dunia Islam itu, muncullah sosok muda yang akan menjadi pendiri kekhalifahan baru: Abu al-Abbas as-Saffah, khalifah pertama Dinasti Abbasiyah. Ia bukan hanya simbol perubahan politik, tetapi juga pelopor kebangkitan baru bagi peradaban Islam yang akan bersinar selama berabad-abad.
Nama lengkapnya adalah Abu al-Abbas Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas, keturunan langsung dari al-Abbas bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah ﷺ. Garis keturunan inilah yang memberi legitimasi kuat bagi gerakan Abbasiyah, karena mereka mengklaim sebagai penerus sah keluarga Nabi (Ahlul Bait). Berbeda dengan Umayyah yang berpusat di Damaskus dan didominasi elit Arab, Abbasiyah muncul dari wilayah timur Islam — Khurasan, daerah yang dihuni berbagai suku Arab dan non-Arab.
Sebelum menjadi khalifah, Abu al-Abbas hidup dalam kesederhanaan dan ketidakpastian. Gerakan revolusi Abbasiyah dijalankan secara rahasia selama puluhan tahun, menentang ketidakadilan sosial dan politik yang dirasakan umat. Puncaknya terjadi ketika Abu Muslim al-Khurasani, jenderal kharismatik di wilayah timur, memimpin pemberontakan besar melawan Dinasti Umayyah. Dalam waktu singkat, pasukannya menguasai Merv, Balkh, dan Kufah — membuka jalan bagi berdirinya pemerintahan baru.
Pada tahun 132 H, setelah kemenangan gemilang atas pasukan Marwan bin Muhammad di Pertempuran Zab, Abu al-Abbas diangkat sebagai khalifah di kota Kufah. Dalam pidato pelantikannya yang terkenal, ia menyatakan:
> “Wahai manusia, sesungguhnya kami adalah keluarga Rasulullah ﷺ yang paling dekat dengan beliau. Allah telah mengembalikan hak kami kepada kami. Kami tidak akan menumpahkan darah kecuali terhadap orang yang menzalimi kami.”
Pidato itu menggema di seluruh dunia Islam sebagai simbol lahirnya Dinasti Abbasiyah, kekhalifahan baru yang mengusung semangat keadilan, kesetaraan, dan pembaruan setelah hampir satu abad kekuasaan Umayyah.
Namun, di balik semangat keadilan itu, masa awal pemerintahan Abu al-Abbas juga diwarnai dengan tindakan keras terhadap sisa-sisa loyalis Umayyah. Karena banyak anggota keluarganya yang terbunuh selama perjuangan melawan Umayyah, ia dikenal dengan julukan as-Saffah — yang berarti “penumpah darah.” Julukan ini bukan tanpa alasan; ia memerintahkan penumpasan terhadap para bangsawan Umayyah untuk mencegah bangkitnya perlawanan baru. Dalam satu peristiwa terkenal, disebutkan bahwa puluhan anggota keluarga Umayyah diundang dalam jamuan di Kufah, namun mereka dibunuh di tempat itu juga.
Meski tindakan itu menimbulkan kesan kejam, sebagian sejarawan menilai langkah Abu al-Abbas adalah bentuk konsolidasi kekuasaan politik yang diperlukan pada masa transisi. Ia sadar bahwa revolusi yang baru menang harus segera menegakkan wibawa dan stabilitas, agar kekhalifahan baru tidak hancur sebelum sempat berdiri kokoh. Setelah situasi politik mulai stabil, Abu al-Abbas mulai memperkuat struktur pemerintahan dan menempatkan orang-orang terpercaya di posisi penting — termasuk pamannya, Abu Ja’far al-Mansur, yang kelak menggantikannya sebagai khalifah kedua.
Secara administratif, Abu al-Abbas mulai memindahkan orientasi pemerintahan dari barat (Suriah) ke timur (Irak dan Persia). Ia menempatkan Kufah sebagai pusat pemerintahan sementara, sebelum akhirnya mempersiapkan pendirian kota baru yang kelak dikenal sebagai Baghdad. Pergeseran pusat ini bukan hanya soal geografi, tapi juga ideologi: Abbasiyah ingin menampilkan diri sebagai kekhalifahan yang lebih terbuka terhadap semua bangsa Muslim — Arab maupun non-Arab.
Selain itu, masa Abu al-Abbas juga menjadi awal munculnya semangat ilmiah dan kebudayaan baru. Meski pemerintahannya singkat (hanya empat tahun), ia mulai mendorong kegiatan penerjemahan dan pendidikan di Kufah dan Basrah. Ia memuliakan ulama dan ahli fikih, serta memberi ruang bagi munculnya mazhab-mazhab ilmu yang akan berkembang pesat di masa khalifah sesudahnya.
Sayangnya, kesehatan Abu al-Abbas tidak bertahan lama. Ia wafat pada tahun 136 H (754 M) di usia muda, hanya empat tahun setelah naik tahta. Namun, dalam waktu singkat itu, ia berhasil mengubah wajah dunia Islam: dari kekhalifahan lama yang lemah dan tertutup menjadi pemerintahan baru yang dinamis, kuat, dan berpandangan jauh ke depan.
Warisan terbesar Abu al-Abbas bukan hanya berdirinya Dinasti Abbasiyah, tetapi lahirnya peradaban Islam klasik yang akan mencapai puncaknya di bawah penerusnya. Dari pemerintahannya bermula era keemasan Islam — masa di mana Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan, filsafat, sains, dan kebudayaan dunia.
Dengan demikian, Abu al-Abbas as-Saffah bukan hanya dikenal sebagai “penumpah darah,” tetapi juga sebagai pembuka jalan bagi kebangkitan intelektual Islam. Ia mewariskan pelajaran berharga bahwa perubahan besar dalam sejarah sering lahir dari keberanian menegakkan keadilan, sekalipun harus melalui pergulatan yang pahit. Dari tangannya, dunia Islam memasuki era baru: era ilmu, kemajuan, dan peradaban yang akan dikenang sepanjang zaman.