Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai sosok pemimpin yang luar biasa dalam sejarah Islam. Meski hidup di masa Bani Umayyah yang penuh kemewahan dan politik istana, ia tampil sebagai cahaya keadilan, kesederhanaan, dan ketakwaan. Banyak ulama menjulukinya sebagai “Khalifah Rasyid kelima”, karena kepemimpinannya mencerminkan semangat empat khalifah pertama — Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali — yang memimpin dengan keikhlasan dan rasa tanggung jawab kepada Allah.
Nama lengkapnya adalah Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam, lahir pada tahun 61 H (682 M) di Madinah. Ia adalah cicit dari Umar bin Khattab melalui garis ibu, dan keturunan keluarga Bani Umayyah dari garis ayah. Sejak kecil, ia tumbuh di lingkungan ilmiah Madinah, belajar kepada para ulama besar dan tabi’in seperti Sa’id bin Al-Musayyib. Pendidikan yang kuat ini membentuk karakternya menjadi pemimpin yang berilmu, berakhlak, dan bertakwa.
Sebelum menjadi khalifah, Umar sempat menjabat sebagai gubernur Madinah. Di sana ia menunjukkan kejujuran dan keadilan luar biasa. Ia memerintah bukan dengan kekerasan, tetapi dengan keteladanan. Ia memimpin dengan mendengar rakyatnya, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, dan memastikan hak orang miskin terjaga. Ketika akhirnya diangkat menjadi khalifah Bani Umayyah pada tahun 99 H (717 M), umat Islam menyambutnya dengan harapan besar — dan benar, masa pemerintahannya menjadi salah satu periode paling adil dalam sejarah Islam.
Begitu menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz langsung melakukan reformasi besar. Ia menolak semua kemewahan istana dan mengembalikan harta-harta yang diperoleh dengan cara tidak sah ke Baitul Mal (kas negara). Ia bahkan mengembalikan perhiasan istrinya, Fatimah binti Abdul Malik — putri khalifah sebelumnya — ke perbendaharaan negara. Ketika para pembesar istana menegurnya, ia menjawab, “Aku tidak ingin menjadi penguasa yang kenyang sementara rakyatku kelaparan.”
Keadilannya menjangkau seluruh lapisan masyarakat, termasuk non-Muslim. Ia menghapus pajak berlebihan terhadap kaum dzimmi (non-Muslim yang dilindungi negara Islam), meningkatkan distribusi zakat, dan memastikan tidak ada rakyat yang kelaparan. Bahkan, pada masa pemerintahannya, sejarah mencatat bahwa hampir tidak ditemukan orang miskin yang berhak menerima zakat, karena semua kebutuhan rakyat terpenuhi.
Kesederhanaannya sungguh luar biasa. Ia menolak gaji besar, tidak mau makan makanan mewah, dan menolak kendaraan istana yang megah. Ia biasa berkata, “Kekuasaan ini bukan kehormatan, tapi amanah. Siapa yang memikulnya tanpa takut kepada Allah, ia akan binasa.” Dalam kehidupan pribadinya, ia dikenal sering menangis karena takut tidak mampu menunaikan tanggung jawab sebagai pemimpin. Ia tidur sedikit, bekerja banyak, dan selalu mendahulukan kepentingan umat di atas dirinya sendiri.
Umar bin Abdul Aziz hanya memerintah selama dua setengah tahun, namun dalam waktu singkat itu ia mengubah wajah pemerintahan Islam. Ia menegakkan hukum dengan keadilan, memakmurkan rakyat, memperbaiki sistem keuangan negara, dan menyebarkan ilmu pengetahuan. Ketika wafat pada tahun 101 H (720 M) dalam usia 39 tahun, seluruh rakyat menangis kehilangan sosok pemimpin yang mereka cintai. Banyak yang percaya ia diracun oleh pihak istana karena reformasinya dianggap mengancam elit korup saat itu.
Warisan Umar bin Abdul Aziz bukan hanya kisah masa lalu, tetapi pelajaran abadi bagi setiap pemimpin. Ia membuktikan bahwa kekuasaan tidak harus membawa keserakahan, dan kemakmuran bisa dicapai tanpa penindasan. Dalam dirinya, Islam tampil bukan sekadar sistem pemerintahan, tetapi cermin keadilan ilahi yang hidup dalam jiwa seorang hamba yang takut kepada Allah.