Ruang Sujud

Keteladanan Zuhud Umar bin Abdul Aziz: Ketika Kekuasaan Tak Mampu Merusak Hati

Zuhud dan kekuasaan sering kali dianggap dua hal yang sulit bersatu. Namun, Umar bin Abdul Aziz membuktikan bahwa seorang pemimpin bisa tetap zuhud meski memegang kekuasaan besar. Ia menunjukkan kepada dunia bahwa kekuasaan tidak harus membawa kemewahan, dan kedudukan tidak harus menjauhkan seseorang dari Allah. Dalam dirinya, dunia dan akhirat berpadu dengan indah — kekuasaan dijalankan dengan hati yang tunduk kepada Tuhan.

Sejak awal menjabat sebagai khalifah, Umar bin Abdul Aziz menetapkan satu prinsip utama: tidak akan menikmati apa pun yang bukan haknya. Ia mengembalikan semua kekayaan dan fasilitas istana ke Baitul Mal, termasuk perhiasan istrinya, Fatimah binti Abdul Malik, yang merupakan putri khalifah sebelumnya. Ketika Fatimah merasa berat melepasnya, Umar berkata lembut, “Aku tidak ingin masuk surga sementara engkau tertahan di neraka karena harta ini.” Mendengar itu, istrinya pun menyerahkan segalanya dengan ikhlas.

Gaya hidup Umar bin Abdul Aziz sangat sederhana. Ia mengenakan pakaian kasar, makan makanan biasa, dan menolak menerima hadiah dari siapa pun. Ketika seorang pejabat mengirimkan madu istimewa dari Yaman, ia berkata, “Baitul Mal tidak membutuhkan madu, tetapi keadilan dan kejujuran.” Ia juga tidak membedakan tempat tidur khalifah dengan rakyatnya — rumahnya kecil, perabotannya sederhana, dan malam-malamnya diisi dengan tangisan dalam doa.

Zuhud Umar bukan karena ia tidak mampu hidup mewah, tetapi karena hatinya tidak terpaut pada dunia. Ia sering berkata, “Dunia ini hanyalah bayangan yang akan hilang, sementara akhirat adalah negeri yang kekal. Maka celakalah orang yang memilih bayangan dan meninggalkan cahaya.” Kalimat ini bukan sekadar kata-kata, tetapi prinsip hidup yang ia buktikan melalui sikap dan keputusan politiknya.

Sebagai pemimpin, ia sangat berhati-hati dalam menggunakan harta negara. Suatu hari, lampu minyak di ruang kerjanya padam saat ia sedang membahas urusan pribadi dengan seseorang. Umar memerintahkan untuk mengganti minyak lampu itu dengan yang dibelinya sendiri, bukan dari kas negara. Ketika orang itu bertanya mengapa, ia menjawab, “Tadi aku berbicara untuk kepentingan umat, maka minyak itu milik mereka. Sekarang urusan pribadi, maka aku tak berhak memakainya.” Kisah ini menjadi simbol keteguhan integritasnya yang legendaris.

Zuhud Umar bin Abdul Aziz juga tercermin dalam cara ia mendidik keluarganya. Ia menolak memberikan fasilitas istimewa kepada anak-anaknya. Suatu kali, seorang pejabat mengeluh bahwa anak-anak Umar berpakaian lusuh dan tampak miskin. Umar tersenyum dan berkata, “Aku lebih suka mereka miskin di dunia dan kaya di akhirat, daripada sebaliknya.” Ia mendidik keluarganya agar tidak menggantungkan hidup pada kedudukan, tetapi pada kejujuran dan takwa.

Meski hidup sederhana, Umar tidak menutup diri dari tanggung jawab terhadap rakyatnya. Ia bekerja keras siang dan malam, memikirkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Ia berkata, “Aku takut tidur nyenyak sementara di luar sana ada rakyat yang kelaparan.” Sering kali ia menangis di malam hari karena merasa belum cukup berbuat untuk umat. Kesadarannya sebagai khalifah bukan tentang kehormatan, tetapi tentang amanah berat yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Zuhud Umar bin Abdul Aziz bukan berarti menolak dunia, tetapi menaklukkan dunia agar tunduk pada nilai-nilai akhirat. Ia menunjukkan bahwa kekuasaan tidak harus menjauhkan seseorang dari Allah, melainkan bisa menjadi sarana untuk mendekat kepada-Nya — asalkan dijalankan dengan keikhlasan dan keadilan.

Kisah hidupnya menjadi teladan bagi para pemimpin di setiap zaman. Di tengah godaan dunia yang menggiurkan, Umar bin Abdul Aziz berdiri teguh sebagai simbol integritas, kesederhanaan, dan tanggung jawab. Ia membuktikan bahwa harta dan jabatan hanyalah ujian, dan hanya hati yang bersih dari cinta dunia yang mampu melewatinya dengan selamat.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Ketika wafat, Umar meninggalkan dunia tanpa harta berlimpah, namun meninggalkan warisan moral dan spiritual yang tak ternilai. Ia bukan hanya khalifah yang memerintah dengan adil, tetapi juga hamba Allah yang memimpin dengan hati. Zuhudnya menjadikan kekuasaan sebagai ladang amal, bukan sumber kebanggaan — dan dari kezuhudan itulah lahir cahaya kepemimpinan yang tetap menerangi sejarah hingga hari ini.

Exit mobile version