Ruang Sujud

Keteguhan Ibnu Qayyim dalam Membela Kebenaran di Tengah Tekanan dan Penjara

Perjalanan hidup Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah tidak bisa dilepaskan dari ujian dan tekanan yang berat. Sebagai murid setia Ibnu Taimiyah, ia mewarisi bukan hanya ilmu dan semangat dakwah gurunya, tetapi juga kesabaran dalam menghadapi cobaan. Di masa ketika kekuasaan dan pemikiran yang menyimpang mendominasi, Ibnu Qayyim berdiri teguh membela kebenaran, meskipun harus merasakan dinginnya dinding penjara.

Sejak berguru kepada Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dikenal sebagai sosok yang sangat berani dalam menyampaikan pendapatnya. Ia mendukung pandangan gurunya yang menentang segala bentuk penyimpangan akidah, takhayul, dan kultus individu terhadap para wali. Pandangan-pandangannya ini membuatnya tidak disukai oleh sebagian ulama dan penguasa yang merasa terganggu. Ia dituduh sebagai pengacau, bahkan dianggap menyebarkan ajaran baru yang bertentangan dengan arus utama pada masa itu.

Karena sikapnya yang tegas, Ibnu Qayyim beberapa kali dipenjara bersama gurunya. Namun, penjara justru menjadi tempatnya menemukan kedamaian spiritual dan memperdalam ilmunya. Di balik jeruji, ia tidak mengeluh atau menyerah. Ia menulis, merenung, dan mendekat kepada Allah dengan hati yang tenang. Dalam salah satu catatannya, ia berkata, “Penjara bagiku adalah taman, pembunuhan bagiku adalah syahadah, dan pengusiran bagiku adalah perjalanan menuju Allah.” Kalimat itu menggambarkan keteguhan dan ketulusan hatinya dalam menghadapi ujian.

Setelah gurunya, Ibnu Taimiyah, wafat di penjara, Ibnu Qayyim melanjutkan perjuangan dakwahnya sendirian. Meski bebas dari tahanan, ia tetap menghadapi banyak penentangan dari kalangan ulama konservatif. Namun, bukannya mundur, ia justru memperluas peran dakwahnya melalui tulisan-tulisan yang bijak dan menyentuh hati. Ia menyampaikan kebenaran bukan dengan nada keras, melainkan dengan kelembutan, hikmah, dan kedalaman spiritual.

Dalam karya-karyanya seperti Madarijus Salikin dan Zadul Ma’ad, terlihat jelas bagaimana ujian hidup membentuk karakternya. Ia tidak menjadi pahit oleh penindasan, tetapi semakin matang dan penuh kasih. Ia menulis, “Jika engkau disakiti oleh manusia, maka balaslah dengan doa. Karena doa lebih kuat dari balas dendam, dan kesabaran lebih indah dari kemarahan.” Kalimat ini menjadi cermin dari kepribadiannya yang lembut namun kokoh.

Ibnu Qayyim juga mengajarkan bahwa ujian adalah bagian dari cinta Allah kepada hamba-Nya. Ia menulis dalam salah satu karyanya, “Allah menurunkan ujian kepada hamba-hamba yang dicintai-Nya agar mereka mengenal diri dan mengenal Tuhannya. Di balik kesempitan ada kelapangan, di balik tangisan ada doa, dan di balik sabar ada surga.” Pandangan ini menjadikannya sumber inspirasi bagi banyak orang yang menghadapi kesulitan hidup.

Keteguhannya tidak hanya menguatkan dirinya sendiri, tetapi juga menginspirasi generasi setelahnya. Banyak muridnya yang kemudian menjadi ulama besar, meneruskan semangat ilmu dan tauhid yang ia wariskan. Melalui ketenangan, kesabaran, dan cinta ilmu, Ibnu Qayyim menunjukkan bahwa kekuatan sejati seorang alim bukan pada kedudukannya di istana, tetapi pada keberaniannya menegakkan kebenaran meski harus kehilangan segalanya.

Ibnu Qayyim wafat di Damaskus pada tahun 751 H (1350 M), dalam keadaan terhormat dan dicintai oleh masyarakat. Meski pernah dipenjara, nama dan ilmunya tetap hidup, jauh melampaui masa hidupnya. Ia membuktikan bahwa tekanan dan penjara tidak dapat mengekang cahaya ilmu dan iman. Dari keterasingan itu, lahirlah kebijaksanaan yang menerangi dunia Islam hingga hari ini.

Exit mobile version