Kehidupan Ibnu Taimiyah adalah kisah perjuangan yang penuh ujian, keteguhan, dan pengorbanan demi membela kebenaran. Lahir pada tahun 661 H (1263 M) di kota Harran, wilayah yang saat itu terancam oleh serangan bangsa Tatar, ia sejak kecil sudah terbiasa hidup dalam keadaan sulit. Ketika berusia tujuh tahun, keluarganya mengungsi ke Damaskus — kota yang kelak menjadi pusat aktivitas ilmiahnya. Di sinilah perjalanan panjang seorang ulama besar dimulai.
Ibnu Taimiyah tumbuh sebagai anak yang haus ilmu. Ia mempelajari Al-Qur’an, hadis, fiqih, ushul fiqih, tafsir, logika, hingga filsafat. Kemampuannya memahami teks agama luar biasa cepat. Pada usia 20 tahun, ia sudah mulai memberikan fatwa dan menjadi tempat bertanya bagi masyarakat. Meski muda, ilmunya sangat luas, dan ketegasan prinsipnya membuatnya dikenal sebagai sosok yang tidak mudah goyah oleh arus pemikiran zaman.
Namun, keberaniannya dalam menyampaikan kebenaran sering membuatnya berselisih dengan penguasa maupun sebagian ulama. Ia menentang keras takhayul, pengultusan terhadap tokoh tertentu, dan praktik ibadah yang tidak bersumber dari sunnah. Ia juga menulis kritik tajam terhadap kelompok-kelompok pemikiran seperti Jahmiyah, Asy’ariyah ekstrem, dan para filsuf yang menyeleweng dari ajaran Islam. Ketegasannya ini membuat banyak pihak merasa terganggu, hingga akhirnya ia berkali-kali dipenjarakan.
Salah satu peristiwa terkenal adalah ketika ia menolak memberikan fatwa yang mendukung penguasa Tatar, meskipun tekanan politik sangat besar. Ia menulis surat panjang yang menegaskan bahwa penguasa yang tidak berhukum dengan syariat Islam tidak layak ditaati dalam hal kebatilan. Karena keteguhan ini, ia ditangkap dan dipenjara di berbagai tempat, termasuk di benteng Qal’ah Damaskus. Namun, penjara tidak pernah memadamkan semangatnya — justru di sanalah lahir karya-karya agung yang menembus zaman.
Di balik jeruji besi, Ibnu Taimiyah menulis dengan cahaya lilin dan pena yang seadanya. Ia menyusun Majmu’ al-Fatawa, karya ensiklopedis yang mencakup hampir seluruh aspek kehidupan Islam — dari aqidah, fiqih, hingga etika sosial. Dalam kesendiriannya, ia terus berzikir, menulis, dan mengajarkan ilmu kepada murid-muridnya yang datang menjenguk. Salah satu murid terdekatnya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, mengatakan bahwa wajah gurunya di penjara tampak lebih bersinar daripada orang yang bebas, karena hatinya dipenuhi ketenangan iman.
Ibnu Taimiyah wafat di penjara Damaskus pada tahun 728 H (1328 M), dalam usia 65 tahun. Meskipun penguasa saat itu menganggapnya berbahaya, rakyat justru mencintainya. Ribuan orang mengantarkan jenazahnya dengan tangisan haru, dan para ulama mendoakannya sebagai mujaddid — pembaharu besar dalam Islam. Ia meninggalkan warisan ilmu yang tak ternilai, yang terus hidup di pesantren, madrasah, dan universitas Islam hingga hari ini.
Kisah hidup Ibnu Taimiyah menunjukkan bahwa kebenaran sering kali menuntut pengorbanan besar. Ia tidak mengejar popularitas atau kekuasaan, tetapi ridha Allah semata. Meski jasadnya terpenjara, pikirannya bebas, dan ilmunya abadi. Dalam setiap lembar tulisannya, kita dapat merasakan semangat perjuangan seorang ulama yang rela menanggung kesulitan demi menjaga kemurnian agama.
Ibnu Taimiyah telah membuktikan bahwa ujian bukan penghalang bagi kebenaran, melainkan jalan menuju keabadian. Ia hidup sederhana, berjuang tanpa pamrih, dan wafat dengan nama yang dikenang sepanjang sejarah — sebagai ulama pejuang yang menjadikan penjara sebagai madrasah, dan ujian sebagai jalan menuju Allah.