Imam An-Nawawi adalah salah satu sosok ulama besar yang keilmuannya diakui oleh seluruh dunia Islam. Nama lengkapnya adalah Yahya bin Syaraf bin Murrin An-Nawawi, lahir di desa Nawa, Suriah, pada tahun 631 H (1233 M). Sejak kecil, tanda-tanda kecerdasan dan ketekunannya sudah tampak jelas. Ia dikenal sangat mencintai ilmu dan lebih memilih waktu-waktunya dihabiskan untuk belajar daripada bermain seperti anak-anak sebayanya.
Ketika beranjak remaja, An-Nawawi dikirim oleh ayahnya ke Damaskus — salah satu pusat ilmu terbesar kala itu. Di kota ini, ia belajar di Madrasah Ar-Rawahiyah yang berada di lingkungan Masjid Jami’ Umawi. Di sana, ia belajar kepada ulama-ulama besar seperti Syaikh Ishaq bin Ahmad Al-Maghribi dan Syaikh Abu Amr bin Salah. Selama bertahun-tahun, Imam An-Nawawi hampir tidak pernah meninggalkan masjid kecuali untuk makan, shalat, dan istirahat sebentar. Hidupnya sepenuhnya diisi oleh ilmu dan ibadah.
Sikap zuhud Imam An-Nawawi menjadi ciri khasnya. Ia hidup sangat sederhana, tidak pernah menikah, dan menolak berbagai jabatan duniawi meskipun banyak ditawarkan kepadanya. Baginya, kesucian hati dan keikhlasan dalam menuntut ilmu jauh lebih penting daripada kemewahan. Bahkan ketika menjadi pengajar di Darul Hadits Al-Asyrafiyyah, ia tetap hidup dalam kesederhanaan tanpa mengubah gaya hidupnya sedikit pun.
Keilmuannya begitu luas, meliputi fiqih, hadis, dan ushuluddin. Ia adalah seorang ulama besar dalam mazhab Syafi’i, bahkan banyak pendapatnya menjadi rujukan utama dalam madzhab tersebut. Di bidang hadis, ketekunannya terlihat dalam cara ia meneliti sanad dan memahami makna setiap riwayat dengan sangat hati-hati. Sikapnya yang jujur dan objektif dalam menulis menjadikannya disegani oleh ulama dari berbagai mazhab.
Imam An-Nawawi juga dikenal karena keberaniannya dalam menegakkan kebenaran. Ia tidak segan menegur penguasa ketika kebijakan mereka menyimpang dari ajaran Islam. Salah satu contohnya adalah ketika ia menolak memberikan fatwa yang mendukung keputusan pemerintah untuk menarik pajak tambahan dari rakyat. Meskipun mendapat tekanan dan akhirnya diusir dari Damaskus, ia tetap teguh mempertahankan prinsipnya sampai akhir hayat.
Warisan Imam An-Nawawi tidak hanya berupa karya tulis, tetapi juga keteladanan hidup. Ia menunjukkan bahwa ilmu tanpa keikhlasan hanyalah kebanggaan kosong, dan zuhud tanpa ilmu hanyalah kesalehan semu. Dengan kesungguhan, kerendahan hati, dan kecintaannya pada umat, Imam An-Nawawi telah menjadi cermin seorang ulama sejati — yang hidup bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk menerangi umat dengan cahaya ilmu dan akhlak.