Monitorday.com – Dalam barisan ulama besar penjaga hadis Nabi ﷺ, nama Imam Ad-Darimi mungkin tak sepopuler Imam Bukhari atau Imam Muslim, tapi kontribusinya dalam menjaga dan menulis hadis tak kalah agung. Ia adalah ulama besar dari Asia Tengah yang dikenal dengan ketelitian, kejujuran, dan kecintaannya terhadap sunnah. Karena kiprahnya, ia dijuluki sebagai penjaga sunnah dari Samarkand.
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Abdurrahman bin Al-Fadl bin Bahram Ad-Darimi As-Samarqandi, lahir di Samarkand pada tahun 181 Hijriah (797 M) — masa di mana ilmu hadis sedang berkembang pesat di seluruh dunia Islam. Ia tumbuh di lingkungan para ahli ilmu, dan sejak muda sudah menunjukkan kecerdasan luar biasa serta semangat yang tinggi untuk menuntut ilmu hadis.
Seperti tradisi para ulama hadis lainnya, Imam Ad-Darimi melakukan rihlah ilmiah — perjalanan menuntut ilmu ke berbagai kota besar Islam seperti Khurasan, Irak, Syam, dan Hijaz. Ia berguru kepada ulama-ulama besar, di antaranya Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, Ishaq bin Rahuyah, dan Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dukain. Banyak di antara gurunya adalah guru yang juga mengajar Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Perjalanan panjangnya membentuknya menjadi seorang muhaddits (ahli hadis) yang tidak hanya hafal ribuan hadis, tapi juga ahli dalam menilai kualitas sanad dan perawi. Ia dikenal sebagai ulama yang sangat hati-hati dalam meriwayatkan hadis, tidak akan menyampaikan satu hadis pun kecuali setelah memeriksa sanad dan matannya secara menyeluruh.
Puncak dari karya ilmiahnya adalah kitab monumental yang berjudul “Sunan Ad-Darimi.” Kitab ini termasuk di antara kumpulan hadis paling penting dalam Islam, sering disebut sebagai pelengkap Kutubus Sittah karena kualitas dan keilmuannya. Di dalamnya terdapat lebih dari 3.000 hadis yang disusun berdasarkan bab fikih — mulai dari thaharah, shalat, zakat, hingga adab dan akhlak.
Namun keistimewaan Sunan Ad-Darimi tidak hanya pada kandungan hadisnya, tapi juga pada susunan ilmiahnya. Imam Ad-Darimi tidak hanya meriwayatkan hadis, tetapi juga menyertakan komentar, pandangan para sahabat, dan penjelasan kontekstual. Pendekatannya membuat kitab ini menjadi perpaduan antara hadis dan fikih, antara riwayat dan pemahaman.
Ulama besar seperti Ibnu Hajar Al-Asqalani dan An-Nawawi mengakui ketelitian dan kejujuran Imam Ad-Darimi dalam menulis hadis. Banyak ulama setelahnya, termasuk Imam Ibnu Hibban dan Imam Al-Baihaqi, menjadikan Sunan Ad-Darimi sebagai sumber penting dalam penelitian mereka.
Selain sebagai ahli hadis, Imam Ad-Darimi juga dikenal sebagai ulama zuhud dan berakhlak tinggi. Ia tidak mencari kemuliaan dunia, menolak hadiah dari penguasa, dan lebih memilih hidup sederhana di Samarkand untuk mengajar murid-muridnya. Dikisahkan, meski rumahnya sederhana, majelisnya selalu dipenuhi para penuntut ilmu dari berbagai negeri.
Imam Ad-Darimi wafat pada tahun 255 Hijriah (869 M) dalam keadaan mulia. Ia meninggalkan warisan ilmu yang abadi, berupa kitab yang hingga kini menjadi rujukan utama dalam studi hadis dan hukum Islam.
Dari Imam Ad-Darimi, kita belajar bahwa ketulusan dalam menjaga sunnah lebih berharga daripada ketenaran. Ia bukan hanya meriwayatkan sabda Rasulullah ﷺ, tapi juga menjaganya dengan hati dan amal. Ia adalah teladan bagi para pencinta ilmu — ulama yang menulis bukan untuk dikenal, tapi agar umat mengenal kembali Nabi mereka.