Ruang Sujud

Perjalanan Ilmiah Imam Ibnu Majah: Dari Qazwin Menyusuri Negeri-Negeri Islam

{"aigc_info":{"aigc_label_type":0,"source_info":"dreamina"},"data":{"os":"web","product":"dreamina","exportType":"generation","pictureId":"0"},"trace_info":{"originItemId":"7559789992730496317"}}

Perjalanan hidup Imam Ibnu Majah adalah kisah tentang semangat, kesabaran, dan ketulusan seorang ulama besar dalam menuntut ilmu. Dari kota kecil Qazwin di Persia hingga ke pusat-pusat ilmu di dunia Islam, langkahnya dipenuhi cinta kepada hadis Nabi ﷺ dan keinginan kuat untuk menjaga warisan Rasul dengan ketelitian ilmiah yang luar biasa.

Ibnu Majah lahir pada tahun 209 Hijriah (824 M) di Qazwin, wilayah yang saat itu menjadi salah satu pusat pendidikan Islam di Persia. Sejak kecil, ia dikenal sebagai anak yang cerdas dan tekun. Ia menghafal Al-Qur’an di usia muda dan menunjukkan minat yang besar terhadap hadis. Gurunya di masa kecil menyadari bahwa muridnya ini memiliki daya hafal yang kuat dan kemampuan memahami sanad di atas rata-rata.

Setelah belajar dasar ilmu hadis di kampung halamannya, Ibnu Majah mulai melakukan rihlah ilmiah — perjalanan menuntut ilmu ke berbagai negeri Islam. Ia menempuh perjalanan panjang ke Khurasan, Irak, Syam, Hijaz, Mesir, dan Basrah. Setiap negeri ia datangi dengan satu tujuan: mendengar hadis langsung dari para perawi terpercaya dan mencatatnya dengan teliti.

Di Irak, ia berguru kepada para murid Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Bukhari. Di Hijaz, ia menimba ilmu dari ulama-ulama Makkah dan Madinah yang masih memegang riwayat hadis secara langsung dari generasi tabi’in. Di Mesir dan Syam, ia bertemu dengan banyak ahli hadis dan sejarah, memperkaya pemahamannya tentang konteks hadis dan sanadnya.

Beberapa gurunya yang paling berpengaruh adalah Ali bin Muhammad Ath-Thanafisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, dan Muhammad bin Abdullah bin Numair — tokoh-tokoh besar dalam ilmu hadis di abad ke-3 Hijriah. Dari mereka, Ibnu Majah belajar tentang jarh wa ta’dil, yaitu ilmu menilai kejujuran dan ketepatan para perawi hadis.

Setelah puluhan tahun mengembara, Ibnu Majah kembali ke Qazwin dengan membawa ribuan hadis yang telah ia hafal dan catat. Di kampung halamannya, ia membuka majelis ilmu yang segera dipenuhi oleh murid-murid dari berbagai negeri. Ia mengajarkan hadis dengan sistematis dan berhati-hati, memastikan setiap riwayat dipahami sanad dan maknanya dengan benar.

Puncak dari seluruh perjalanan ilmiahnya adalah ketika ia menyusun kitab “Sunan Ibnu Majah.” Kitab ini menjadi hasil dari puluhan tahun rihlah dan penelitian yang mendalam. Ia tidak hanya menulis hadis-hadis sahih yang sudah diriwayatkan ulama sebelumnya, tapi juga menambahkan hadis-hadis baru (zawa’id) yang belum termuat dalam kitab-kitab Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i.

Keberanian dan ketelitian Ibnu Majah dalam menyusun kitab ini membuatnya sangat dihormati oleh para ulama setelahnya. Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebut bahwa Sunan Ibnu Majah “melengkapi lima kitab hadis sebelumnya dan menjadikan Kutubus Sittah sempurna.”

Perjalanan ilmiah Imam Ibnu Majah menunjukkan betapa besar pengorbanan yang harus ditempuh seorang ulama sejati. Ia meninggalkan rumah, menempuh ribuan kilometer, hidup sederhana, dan mencurahkan seluruh waktunya demi satu hal — memastikan bahwa sabda Rasulullah ﷺ sampai kepada umat dengan benar dan terjaga.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Ia wafat di Qazwin pada tahun 273 Hijriah (887 M). Namun, langkah-langkah perjalanannya masih bergema di setiap halaman kitab hadis. Dari beliau kita belajar bahwa ilmu sejati bukan hanya tentang kecerdasan, tapi tentang keikhlasan, ketekunan, dan pengorbanan.

Exit mobile version