Di balik ketenangan dan kewibawaan Imam Malik bin Anas, tersimpan kisah perjuangan luar biasa dalam menjaga kemurnian hadis Nabi ﷺ. Sebagai ulama besar yang hidup di Madinah, kota tempat Rasulullah ﷺ pernah tinggal, Imam Malik merasa memiliki tanggung jawab besar: memastikan bahwa setiap hadis dan hukum yang keluar dari Madinah benar-benar sahih dan sesuai dengan ajaran Nabi.
Imam Malik lahir pada tahun 93 Hijriah (712 M) di Madinah. Ia tumbuh di lingkungan penuh ilmu dan ibadah, dikelilingi oleh murid-murid para sahabat yang masih menjaga tradisi keilmuan Rasulullah ﷺ. Sejak muda, ia menunjukkan semangat belajar yang luar biasa. Ia menolak tergesa-gesa dalam menulis hadis, karena bagi Malik, setiap kata yang dinisbatkan kepada Rasulullah ﷺ harus diperiksa dengan penuh tanggung jawab.
Ia belajar kepada ulama besar seperti Nafi’ maula Ibnu Umar, Ibn Syihab Az-Zuhri, dan Rabi’ah bin Abdurrahman, hingga mencapai kedalaman ilmu yang membuatnya dikenal sebagai ulama paling berwibawa di Madinah. Dalam setiap majelisnya, Imam Malik menjaga adab dan kehormatan ilmu dengan disiplin tinggi. Ia tidak meriwayatkan hadis sambil berdiri atau tanpa berwudhu.
Dikisahkan, ketika seseorang ingin membaca hadis di hadapannya, Imam Malik akan berwudhu terlebih dahulu, mengenakan pakaian terbaiknya, lalu duduk dengan penuh khusyuk. Ia berkata,
“Aku tidak suka menyebut nama Rasulullah ﷺ kecuali dalam keadaan suci dan hormat.”
Keteguhannya dalam menjaga hadis terlihat jelas dalam karyanya yang monumental, “Al-Muwaththa’.” Kitab ini disusun selama lebih dari 40 tahun, berisi sekitar 1.700 hadis dan fatwa ulama Madinah. Imam Malik tidak memasukkan satu hadis pun tanpa penelitian mendalam. Ia menolak lebih dari 100.000 hadis yang dianggap tidak memenuhi syarat keautentikan.
Namun perjuangannya tidak selalu mudah. Pada masa pemerintahan Khalifah Abbasiyah, Imam Malik pernah menghadapi tekanan karena fatwanya yang berbeda dengan kebijakan penguasa. Ketika diminta untuk mendukung kebijakan politik yang salah, ia menolak, dengan berkata,
“Ilmu tidak boleh tunduk kepada kekuasaan. Ilmu adalah amanah yang harus dijaga.”
Penolakannya membuatnya dipenjara dan disiksa. Tapi Imam Malik tetap tegar. Ia tidak mengubah pendiriannya demi keselamatan diri. Setelah keluar dari penjara, reputasinya justru semakin tinggi. Rakyat menghormatinya sebagai simbol keteguhan ulama yang tidak bisa dibeli oleh kekuasaan.
Dalam menjaga hadis, Imam Malik juga menekankan pentingnya ‘amal ahlil Madinah — tradisi amal penduduk Madinah yang diwarisi langsung dari para sahabat Nabi ﷺ. Menurutnya, praktik ibadah yang dijaga secara turun-temurun di Madinah adalah sumber hukum yang kuat karena bersumber dari generasi yang hidup bersama Rasulullah ﷺ.
Kejujurannya dalam ilmu membuat Imam Malik dihormati oleh para ulama besar lainnya. Imam Syafi’i berkata tentang gurunya ini,
“Tidak ada seorang pun setelah tabi’in yang lebih alim dari Malik bin Anas di seluruh bumi.”
Imam Malik wafat pada tahun 179 Hijriah (795 M) di Madinah dan dimakamkan di Baqi’, di antara para sahabat Nabi ﷺ. Tapi perjuangannya dalam menjaga hadis terus hidup dalam setiap halaman Al-Muwaththa’ dan setiap majelis ilmu yang menjunjung tinggi sunnah Rasul.
Dari kisahnya, kita belajar bahwa menjaga hadis bukan hanya soal hafalan, tapi juga soal ketulusan dan keberanian moral. Imam Malik mengajarkan bahwa ilmu adalah amanah, dan siapa pun yang menjaganya dengan jujur akan dijaga Allah selamanya.