Kitab Sunan Ibnu Majah karya Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Al-Qazwini adalah salah satu permata besar dalam khazanah ilmu hadis Islam. Dengan karya inilah, enam kitab hadis utama (Kutubus Sittah) menjadi lengkap, membentuk pondasi besar bagi pemahaman umat terhadap sunnah Nabi ﷺ. Keunikan metode penyusunan dan ketelitian ilmiah Imam Ibnu Majah menjadikan kitabnya sangat berharga hingga kini.
Imam Ibnu Majah lahir di Qazwin pada tahun 209 Hijriah (824 M). Sejak muda, ia dikenal tekun menuntut ilmu dan sangat tertarik pada hadis. Setelah melakukan perjalanan panjang ke berbagai negeri Islam — seperti Irak, Hijaz, Syam, Mesir, dan Khurasan — ia kembali ke kampung halamannya dan mulai menyusun karya besarnya: “Sunan Ibnu Majah.”
Kitab ini terdiri dari sekitar 4.341 hadis, yang disusun berdasarkan bab-bab fikih, dimulai dari thaharah (bersuci), shalat, zakat, puasa, haji, hingga muamalah dan akhlak. Namun yang membuat Sunan Ibnu Majah istimewa bukan hanya jumlah hadisnya, melainkan pendekatan unik dan sistematis dalam penyusunannya.
Berikut beberapa keunikan dan metode ilmiah Imam Ibnu Majah dalam menulis kitabnya
- Hadis-hadis tambahan (Zawā’id)
Salah satu keistimewaan terbesar kitab ini adalah adanya hadis-hadis tambahan yang tidak ditemukan dalam lima kitab hadis sebelumnya (Shahih Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i). Jumlah hadis tambahan ini mencapai sekitar 1.300 riwayat, menjadikan Sunan Ibnu Majah sangat penting bagi para peneliti hadis. - Penyusunan tematik yang rapi dan mudah dipahami
Ibnu Majah menyusun kitabnya berdasarkan urutan bab fikih yang logis. Setiap topik dimulai dengan hadis-hadis pokok, diikuti dengan hadis pendukung atau penjelas. Struktur ini membuat kitabnya mudah digunakan oleh fuqaha (ahli fikih) sebagai rujukan hukum. - Klasifikasi derajat hadis dengan jujur dan objektif
Meski sebagian hadis dalam kitabnya termasuk kategori hasan atau bahkan dhaif, Imam Ibnu Majah tidak menyembunyikan kelemahannya. Ia tetap mencatat riwayat tersebut agar tidak hilang dari perbendaharaan ilmu, namun membiarkan ulama setelahnya menilai kekuatannya berdasarkan kaidah jarh wa ta’dil. - Keseimbangan antara sanad dan makna
Dalam banyak bab, Ibnu Majah tidak hanya fokus pada sanad hadis, tetapi juga memperhatikan kandungan makna dan penerapan hukumnya. Pendekatan ini menunjukkan kemampuannya menggabungkan ilmu hadis dan fikih secara seimbang. - Sikap ilmiah dan amanah
Imam Ibnu Majah tidak pernah menyeleksi hadis berdasarkan pandangan mazhab atau tekanan politik. Ia menulis dengan kejujuran ilmiah penuh, semata-mata karena Allah dan untuk menjaga warisan Nabi ﷺ.
Karena metode inilah, Sunan Ibnu Majah mendapat tempat terhormat di kalangan ulama. Imam Az-Zahabi menyebut kitab ini sebagai “pelengkap sempurna Kutubus Sittah,” sementara Ibnu Hajar Al-Asqalani menegaskan bahwa banyak hadis hukum yang hanya ditemukan di kitab Ibnu Majah.
Meski beberapa hadisnya berstatus lemah, para ulama tidak meragukan nilai ilmiah dan sejarah kitab ini. Tanpanya, banyak riwayat berharga mungkin telah hilang dari perbendaharaan Islam. Bahkan di pesantren dan universitas Islam hingga kini, Sunan Ibnu Majah menjadi rujukan penting dalam kajian hadis hukum.
Metode Imam Ibnu Majah menunjukkan bahwa ilmu bukan hanya tentang kesempurnaan, tetapi tentang kejujuran dalam menyampaikan amanah. Ia tidak menyembunyikan yang lemah, tidak melebih-lebihkan yang kuat, dan tidak mengubah fakta untuk memuaskan siapa pun.
Karena itu, Sunan Ibnu Majah bukan sekadar kitab hadis, melainkan warisan kejujuran dan ketulusan seorang ulama besar.