Ruang Sujud

Warisan Ilmu Imam An-Nasa’i dan Pengaruh Sunan-nya dalam Dunia Islam

Warisan ilmu Imam An-Nasa’i adalah permata berharga dalam sejarah Islam. Ia tidak hanya dikenal sebagai salah satu dari enam penyusun kitab hadis utama (Kutubus Sittah), tetapi juga sebagai ulama yang mewariskan standar ketelitian ilmiah dan keberanian moral dalam menjaga sunnah Nabi ﷺ. Melalui karyanya, Sunan An-Nasa’i, dunia Islam mendapatkan salah satu sumber hadis paling otentik dan terpercaya sepanjang masa.

Imam An-Nasa’i lahir di Nasa, Khurasan pada tahun 215 Hijriah (830 M), dan sejak muda telah menunjukkan kecerdasan luar biasa. Ia memulai perjalanan ilmunya dari kampung halamannya, lalu melakukan rihlah ilmiah ke berbagai pusat ilmu Islam: Irak, Hijaz, Syam, dan Mesir. Dari perjalanannya itulah lahir seorang muhaddits agung yang dikenal sangat teliti dan berhati-hati dalam meriwayatkan hadis.

Karya utamanya, As-Sunan Al-Kubra, adalah koleksi besar hadis-hadis yang ia susun dengan metode ilmiah yang sangat disiplin. Karena kitab itu terlalu luas, beliau kemudian menulis versi ringkasnya, “Sunan As-Sughra” (juga dikenal dengan Al-Mujtaba), yang kemudian menjadi salah satu dari enam kitab hadis utama (Kutubus Sittah).

Keistimewaan Sunan An-Nasa’i terletak pada kualitas hadisnya yang sangat tinggi. Ulama ahli hadis seperti Ibnu Hajar Al-Asqalani dan An-Nawawi menyebut bahwa kitab ini termasuk yang paling sedikit mengandung hadis lemah. Ketelitian Imam An-Nasa’i dalam memilih perawi dan memverifikasi sanad membuat kitabnya dijadikan standar keilmuan di berbagai madrasah dan universitas Islam hingga kini.

Selain karya ilmiahnya, Imam An-Nasa’i juga meninggalkan pengaruh besar dalam disiplin ilmu jarh wa ta’dil — ilmu yang menilai kredibilitas perawi hadis. Ia dikenal sangat objektif dan tidak memihak mazhab atau penguasa tertentu. Jika seorang perawi tidak memenuhi syarat kejujuran dan hafalan, ia menolaknya tanpa ragu, meskipun perawi itu populer.

Namun warisan terbesar Imam An-Nasa’i bukan hanya dalam bidang ilmu, tetapi juga dalam akhlak dan keberanian. Ia adalah ulama yang teguh membela kebenaran dan tidak takut pada tekanan politik. Ketika diminta menulis keutamaan tokoh yang tidak pantas dipuji, ia menolak dengan tegas dan lebih memilih disakiti daripada menulis sesuatu yang bertentangan dengan hadis Nabi ﷺ.

Sikap itu membuatnya dihormati oleh para ulama lintas generasi. Adz-Dzahabi menyebut beliau sebagai “imam dalam hadis, teladan dalam kebenaran, dan syahid karena ilmunya.” Sementara Ibnu Katsir menulis, “Keteguhan An-Nasa’i lebih tajam dari pedang — karena ia hanya menulis untuk Allah.”

Pengaruh Imam An-Nasa’i terus terasa hingga hari ini. Sunan An-Nasa’i menjadi rujukan utama dalam hukum Islam, dan metodologinya dipelajari dalam fakultas syariah di berbagai dunia Islam — dari Kairo hingga Jakarta. Kitabnya juga menjadi dasar bagi banyak karya fikih klasik seperti Bulughul Maram dan Subulussalam.

Imam An-Nasa’i wafat di Makkah pada tahun 303 Hijriah (915 M), dalam keadaan mulia. Banyak ulama menyebut bahwa beliau meninggal sebagai syahid ilmu, karena luka yang dideritanya saat membela kebenaran di Syam.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Warisan ilmu Imam An-Nasa’i mengajarkan bahwa keilmuan sejati bukan hanya tentang kecerdasan, tapi tentang keberanian dan ketulusan. Ia tidak hanya menulis hadis, tapi juga hidup dalam semangat hadis — menjadi penjaga kejujuran di tengah zaman yang penuh ujian.

Hingga hari ini, setiap kali hadis dari Sunan An-Nasa’i dibacakan di majelis ilmu, nama beliau kembali hidup — menjadi saksi bahwa ilmu yang disertai keikhlasan tidak akan pernah padam.

Exit mobile version