Ruang Sujud

Perjalanan Ilmiah Imam An-Nasa’i: Dari Nasa ke Mesir dan Syam

Perjalanan hidup Imam An-Nasa’i adalah kisah luar biasa tentang keteguhan hati seorang ulama dalam menuntut ilmu dan membela kebenaran. Ia lahir di Nasa, sebuah kota di wilayah Khurasan (sekarang Turkmenistan) pada tahun 215 Hijriah (830 M). Dari kota kecil itu, ia menempuh perjalanan panjang menyeberangi gurun dan lautan demi satu cita-cita besar — menjaga kemurnian sunnah Nabi ﷺ.

Sejak kecil, Imam An-Nasa’i tumbuh dalam lingkungan yang cinta ilmu. Ia mulai menghafal Al-Qur’an dan hadis di usia muda, menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Gurunya di masa kecil sering berkata bahwa An-Nasa’i kecil berbeda dari anak-anak lain — ia jarang bermain, lebih suka membaca dan mencatat hadis.

Ketika beranjak dewasa, semangat menuntut ilmunya membawanya keluar dari tanah kelahirannya. Ia melakukan rihlah ilmiah, tradisi mulia para ulama hadis untuk mencari ilmu dari sumber aslinya. Ia pergi ke Khurasan, Irak, Hijaz, Syam, dan Mesir, berguru kepada ulama-ulama besar seperti Ishaq bin Rahuyah, Qutaibah bin Sa’id, Suwaid bin Nashr, dan Ali bin Hujr.

Dari mereka, Imam An-Nasa’i mempelajari tidak hanya isi hadis, tetapi juga kaidah sanad, karakter perawi, dan metodologi kritik hadis. Ia belajar bagaimana membedakan antara riwayat yang kuat dan yang lemah, dan bagaimana menjaga amanah ilmiah tanpa terpengaruh kepentingan politik atau mazhab.

Perjalanannya ke Baghdad memberinya kesempatan berinteraksi dengan para murid Imam Ahmad bin Hanbal. Di sana, ia semakin matang dalam ilmu fikih dan prinsip ketelitian dalam menilai hadis. Ia juga sempat mengunjungi Makkah dan Madinah, kota suci tempat banyak sahabat dan tabi’in meriwayatkan hadis secara langsung dari sumbernya.

Namun, titik penting dalam perjalanan hidupnya adalah ketika ia menetap di Mesir. Di negeri itu, Imam An-Nasa’i membangun reputasi sebagai ulama hadis terbesar pada masanya. Majelis ilmunya di Masjid Fusthath selalu dipenuhi ratusan penuntut ilmu dari berbagai wilayah Islam. Ia menulis karya besarnya, As-Sunan Al-Kubra, yang menjadi bukti ketekunan dan kecermatan ilmiahnya.

Karya itu berisi ribuan hadis yang disusun berdasarkan bab fikih. Namun, karena jumlahnya sangat besar, beliau kemudian menyusun versi ringkasnya yang lebih populer, yaitu “Sunan As-Sughra” (Al-Mujtaba) — salah satu dari enam kitab hadis utama (Kutubus Sittah). Kitab ini dikenal karena seleksinya yang sangat ketat; hanya hadis-hadis dengan sanad paling kuat yang dimasukkan ke dalamnya.

Setelah bertahun-tahun mengajar di Mesir, Imam An-Nasa’i melakukan perjalanan ke Syam. Namun di sana, ia menghadapi ujian besar. Karena keberaniannya membela kebenaran dan kecintaannya kepada Ahlul Bait, ia ditentang oleh kelompok yang fanatik terhadap politik masa lalu. Ketika menolak menulis keutamaan palsu tentang tokoh tertentu, ia diserang hingga terluka parah.

Dari Syam, ia dibawa ke Makkah, tempat ia wafat dalam keadaan mulia pada tahun 303 Hijriah (915 M). Banyak ulama menilai bahwa beliau wafat sebagai syahid dalam menegakkan kebenaran dan menjaga kehormatan hadis Nabi ﷺ.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Perjalanan ilmiah Imam An-Nasa’i menunjukkan bahwa jalan ilmu bukan jalan yang mudah. Ia harus menempuh ribuan kilometer, menghadapi fitnah, tekanan, bahkan kekerasan — namun tidak pernah mundur.

Dari sosoknya, kita belajar bahwa menuntut ilmu dan menjaga kebenaran adalah jihad yang sejati. Imam An-Nasa’i tidak hanya meninggalkan kitab, tetapi juga jejak perjuangan dan keberanian yang menginspirasi generasi setelahnya.

Exit mobile version