Kehidupan Imam Abu Dawud As-Sijistani adalah kisah perjuangan seorang ulama besar yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk menjaga dan mengajarkan sunnah Rasulullah ﷺ. Perjalanan ilmiahnya menembus jarak ribuan kilometer, dari tanah kelahirannya di Sijistan (Iran sekarang) menuju pusat-pusat keilmuan besar seperti Basrah, Kufah, Baghdad, Makkah, dan Syam.
Imam Abu Dawud lahir pada tahun 202 Hijriah (817 M), di masa kejayaan ilmu pengetahuan Islam. Sejak kecil, ia dikenal memiliki kecerdasan luar biasa dan semangat belajar yang tinggi. Ia tumbuh dalam keluarga yang saleh dan mencintai ilmu agama, terutama hadis Nabi ﷺ.
Ketika usianya masih muda, semangatnya menuntut ilmu tak terbendung. Ia mulai belajar hadis di Sijistan, lalu memutuskan untuk melakukan rihlah ilmiah, sebuah tradisi para ulama hadis untuk mencari riwayat dari sumber aslinya. Ia menempuh perjalanan panjang ke Khurasan, Irak, Hijaz, Syam, dan Mesir demi bertemu para perawi dan guru besar hadis.
Di Basrah, ia belajar kepada ulama ternama dan menelaah ribuan hadis dari berbagai sanad. Di sana pula, ketelitiannya mulai dikenal oleh para guru dan murid. Dari Basrah, ia menuju Baghdad, pusat intelektual dunia Islam kala itu. Di kota inilah ia berguru kepada Imam Ahmad bin Hanbal, sosok yang kelak sangat mempengaruhi pemikiran dan prinsip keilmuannya.
Imam Ahmad mengajarkan kepadanya pentingnya kejujuran, kehati-hatian, dan adab dalam meriwayatkan hadis. Ia menasihati Abu Dawud agar tidak tergesa-gesa menulis hadis tanpa memastikan kebenarannya. Nasihat itu melekat kuat di hatinya hingga akhir hayat.
Dari Baghdad, Imam Abu Dawud melanjutkan perjalanannya ke Makkah dan Madinah untuk mempelajari hadis langsung dari para ulama Hijaz yang terkenal ketat dalam menjaga sanad. Ia juga sempat belajar di Syam dan Mesir, memperluas jejaring ilmiahnya dan memperkuat hafalan hadisnya hingga mencapai puluhan ribu riwayat.
Setelah puluhan tahun berkelana, ia kembali menetap di Basrah, di mana ia mulai menulis karya besarnya, “Sunan Abu Dawud.” Kitab ini menjadi hasil puncak dari seluruh perjalanannya — sebuah kumpulan hadis yang terpilih dengan cermat dari ratusan ribu riwayat yang telah ia temui selama hidupnya.
Dalam salah satu riwayat, Imam Abu Dawud berkata:
“Aku telah menulis dari Rasulullah ﷺ sebanyak lima ratus ribu hadis. Dari jumlah itu, aku memilih sekitar empat ribu hadis untuk kitabku yang cukup menjadi pedoman bagi umat.”
Kitab Sunan Abu Dawud tidak hanya dikenal karena keautentikan hadisnya, tetapi juga karena susunannya yang tematik dan praktis. Ia mengatur hadis berdasarkan bab hukum, memudahkan para ulama dan pelajar untuk menemukan dalil dalam fikih. Karena itu, kitab ini menjadi salah satu rujukan utama dalam hukum Islam, sejajar dengan karya Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Perjalanan panjang Imam Abu Dawud membuktikan bahwa ilmu sejati tidak bisa diperoleh dengan kemudahan. Ia menempuh panasnya padang pasir, lapar di jalan, dan jauh dari keluarga — semua demi memastikan bahwa umat Islam dapat mengenal hadis Nabi ﷺ yang sahih.
Ketika wafat di Basrah pada tahun 275 Hijriah (888 M), ia meninggalkan dunia dengan warisan besar yang terus hidup hingga kini. Namanya disebut di setiap majelis ilmu, dan karyanya dibaca di seluruh penjuru dunia Islam.
Perjalanan hidup Imam Abu Dawud mengajarkan bahwa ilmu adalah perjalanan jiwa — bukan sekadar pencarian pengetahuan, tetapi juga bentuk pengabdian kepada Allah dan Rasul-Nya.